Frensia.id – Apa yang tersisa dari Ramadhan setelah takbir berkumandang dan piring opor kembali kosong? Pertanyaan itu, barangkali, terlalu sederhana untuk menjawab sesuatu yang kita anggap sakral. Tapi justru dari pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam itulah, manusia belajar mengenal dirinya.
Setiap tahun, kita seperti disusun dalam barisan kebaikan. Lidah dilatih diam, tangan dilatih memberi, dan hati—meski masih sering usil—dilatih bersabar. Puasa menjadi sejenis latihan moral massal yang membuat kita merasa suci dalam waktu singkat. Tapi adakah kesucian yang lahir dari rutinitas tanpa kesadaran?
Dalam ruang batin kita, Ramadhan seharusnya bukan sekadar sekumpulan amalan yang diberi tenggat. Ia adalah cermin, tempat manusia menatap diri sendiri tanpa riasan. Sayangnya, yang kita temui di balik cermin itu sering kali bukan kebaikan yang jujur, melainkan bayangan—rapuh, sementara, dan lekas hilang ketika lampu dimatikan.
Masyarakat kita gemar dengan yang seremonial. Maka Ramadhan pun dirayakan dengan bunyi-bunyian, dengan spanduk-spanduk, dengan kupon berbuka dan foto berbagi. Semua itu baik, tentu saja. Tapi apakah itu cukup? Apakah kebaikan itu lahir karena pilihan, atau karena musim?
Pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa manusia berbuat baik? Apakah karena takut dosa, ingin pahala, atau karena ia percaya bahwa menjadi baik adalah jalan menjadi manusia seutuhnya? Bila kebaikan hanya hadir karena tekanan ritual, maka ia akan menghilang ketika sistem pendukungnya lenyap.
Kebaikan, dalam pengertian paling dalam, adalah kebiasaan yang diulang dengan sadar, bukan karena aturan, melainkan karena ia membuat jiwa kita terasa utuh. Seperti tubuh yang merindukan udara bersih, jiwa manusia pada dasarnya merindukan laku yang lurus, tulus, dan tak berpamrih. Tapi itu hanya mungkin kalau ia dijadikan kebiasaan. Dan kebiasaan tak lahir dari niat sesaat, melainkan dari pengulangan yang konsisten.
Kita sering menyalahkan dunia karena terlalu gaduh, terlalu kejam, terlalu sibuk. Tapi kita jarang menyadari bahwa keheningan yang sempat kita cicipi di bulan Ramadhan bisa dilanjutkan, kalau kita mau. Ramadhan bukan instruksi, tapi simulasi. Ia mengajari kita bagaimana rasanya hidup dengan kontrol, dan bagaimana manusia bisa menjadi lebih mulia hanya dengan mengurangi: makan, bicara, marah.
Tentu, manusia tak bisa baik terus. Tapi ia bisa terus belajar. Maka jejak kebaikan yang ditinggalkan Ramadhan jangan dibiarkan menguap jadi kenangan. Ia harus dijemput kembali dalam bentuk kebiasaan kecil: menyapa, mendengar, memaafkan. Tak perlu menunggu bulan suci untuk berlaku mulia. Karena yang suci bukan bulannya, tapi hati yang terus dirawat.
Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna adalah hidup yang mampu mengubah puasa menjadi pembiasaan. Ramadhan hanya sebulan. Tapi kebajikan—kalau sungguh-sungguh kita inginkan—harus menjadi rumah, bukan tamu. Tempat kita tinggal, bukan sekadar tempat kita singgah.