Frensia.id – Dulu saya penggemar fanatik salah satu rokok filter andalan pabrik rokok dari Kudus. Namun dalam dua tahun terakhir, saya beralih ke kretek—bukan karena ikut tren nostalgia, tapi karena alasan yang sangat praktis: harga.
Semakin hari, rokok filter terasa makin menjauh dari dompet perokok kelas menengah. Tapi rupanya, saya tidak sendirian. Di mana-mana, kretek mulai kembali merebut pasar. Dan saya mulai melihat bahwa bukan hanya perokok yang beradaptasi, tapi pabrik rokok pun sedang melakukan strategi besar-besaran.
Kita tahu, kenaikan cukai rokok filter terus melesat. Pemerintah memang sengaja menekan konsumsi rokok lewat tarif fiskal yang tinggi. Akibatnya, harga rokok filter melejit. Tapi celah pasar selalu ada—dan kali ini, rokok kretek menjadi jawaban. Produk ini, terutama varian Sigaret Kretek Tangan (SKT), dikenai tarif cukai yang lebih rendah. Hasilnya, pabrik rokok mulai tancap gas melahirkan berbagai varian jenis ini.
Lihat saja Gudang Garam. Dalam dua tahun terakhir, mereka meluncurkan Surya Nusantara, Signature Kretek, hingga Gudang Garam International Kretek. Sementara itu, HM Sampoerna mencoba pendekatan yang lebih segar dengan produk-produk, dalam istilah saya pribadi “Sampoerna Legit Series”, seperti Sampoerna Legit Amerta, Sampoerna Legit Nira, dan varian lain yang mengusung branding lokal—sebuah transisi menarik dari imej “internasional” mereka yang dulu begitu dominan. Sebut saja Dji Sam Soe, Sampoerna “AGA”.
Tak mau ketinggalan, Wismilak menghadirkan Satya sebagai produk kretek modern. Bahkan perusahaan asing seperti JT International ikut meramaikan lini kretek lewat Camel Kretek yang tampil dalam bungkus coklat mirip Surya Nusantara. Persaingan pun makin sengit ketika Djarum mulai meng-upgrade kembali lini lawas seperti Djarum 76 Kretek menjadi Djarum 76 Royal, setelah sebelumnya lebih dulu meluncurkan varian rasa seperti Mangga, Durian, nanas hingga Kurma Royal—yang dulu sempat dianggap gimmick, kini jadi andalan menarik pasar milenial.
Fenomena ini tentu tidak lepas dari strategi industri. Ketika filter makin mahal dan pasar mulai jenuh, pabrik rokok tak bisa hanya mengandalkan merek lama. Maka, kretek jadi senjata baru—atau lebih tepatnya, senjata lama yang diasah kembali. Dari sisi bisnis, ini langkah yang logis. Data kinerja emiten rokok seperti HMSP dan GGRM masih menunjukkan bahwa SKT menyumbang porsi signifikan dari total pendapatan, bahkan di tengah tekanan regulasi.
Sebagai perokok, saya tidak membela rokok. Saya tahu risikonya. Tapi sebagai konsumen yang juga mengamati dinamika industri, saya melihat ini sebagai bentuk adaptasi cerdas, bagaimana sebuah industri besar membaca ulang selera pasar dan celah regulasi, lalu merespons dengan cepat, kreatif, dan (tentu saja) penuh perhitungan.
Kini, satu batang kretek bukan cuma tentang kenikmatan. Ia menyimpan cerita panjang tentang kebijakan negara, strategi korporasi, dan selera pasar yang berubah-ubah. Dan saya, yang awalnya hanya mencari pilihan lebih murah, tanpa sadar ikut menyaksikan kebangkitan wajah baru industri SKT di Indonesia.