Frensia.id- Deklamasi monolog memerlukan kompetensi dan skill yang kompleks. Mulai dari penguasaan narasi yang dibawakan, emosi, gerak dan sebagainya, memerlukan fokus yang tinggi untuk dapat ditampilkan secara sempurna.
Walaupun berat, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) ternyata mampu melakukannya dengan memukau. Penampilannya sukses mencuri perhatian dalam acara SeIBa International Festival yang digelar UIN Imam Bonjol Padang, 28/09/2024.
Namanya, Rizal Aria Putra. Ia adalah mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah yang ikut serta dalam festival internasional yang diadakan pada 23-28 September 2024 ini. Monolognya mengangkat kesadaran nilai-nilai budaya melayu.
Judul monolog yang ditampilkannya, “Engkuh Beradat Melayu”. Karya yang dibawakannya adalah besutan sutradara Muhammad Guntur Hadi Saputro, yang juga mahasiswa prodi Psikologi Islam UIN KHAS.
Diceritakan dalam penampilan monolognya, pada gulita panggung yang tak menawarkan petunjuk, hanya cermin besar yang tampak samar di sudut. Sebuah peti tua tersimpan rapi di sampingnya, seolah menyimpan rahasia masa lalu yang enggan terbuka.
Dari kegelapan, seorang pria muncul, berpakaian serba hitam, langkahnya pelan namun penuh beban, seperti diseret oleh ingatan yang jauh. Di tangannya, sebuah lentera menyala, cahayanya temaram.
“Assalamualaika ya Rasulullah,” teriakan itu membelah sunyi, menggema dalam ruang hampa, seolah ingin memanggil kembali roh zaman yang hilang. Nada suaranya penuh harap, tetapi juga menyimpan kesedihan yang mendalam.
Alunan musik akustik kontemporer yang samar-samar mulai mengisi ruang, mengiringi langkahnya yang semakin mendekati cermin.
Monolog yang dibawakannya tampak menceritakan tentang seorang pria yang kehilangan identitas diri sebagai seorang yang dulu besar dalam rahim budaya Melayu.
Di tengah pekat gelap panggung, tiba-tiba teriakan Rizal Aria Putra terdengar tampak tersesat dalam kegelapan,
“Dimana aku berada, dimana aku sekarang, semua gelap gulita. Aku tidak tahu siapa aku!” Suaranya merintih, penuh kebingungan, seolah tak hanya kehilangan arah, tetapi juga dirinya sendiri.
Dunia yang dulu dikenalnya kini terasa begitu asing. Baginya seluruh identitas Melayu telah hilang karena kabut kelam modernitas. Di tengah kebimbangannya, jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh selembar kertas yang terserak di lantai.
Ia meraba, lalu mengangkat kertas itu ke dekat lentera yang redup. Kemudian ia meracau, berbicara pada dirinya sendiri, “Aku tak lagi budiman. Aku, insan tak bermoral.”
Ia berhasil menampilkan gejolak jiwa penolakannya terhadap realitas yang ia rasa kian hampa, matanya menangkap sesuatu yang familiar, sebuah peti. Peti itu tampak usang, namun menyimpan keakraban yang aneh baginya.
Ia membuka peti itu dengan perlahan, dan di dalamnya, tersimpan pakaian adat Melayu—pakaian yang pernah menjadi simbol kehormatan dan jati dirinya yang hilang.
Dengan tangan gemetar, ia mulai memungut helai demi helai kain itu, mengenakannya satu per satu. Setiap helai yang membalut tubuhnya seolah menghidupkan kembali kenangan yang terkubur.
Ia mulai ingat, siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan betapa dalam ia terikat dengan warisan leluhurnya. Pakaian itu bukan sekadar kain, melainkan simbol yang memulihkan identitas yang telah lama terkikis oleh arus zaman.
Pada akhirnya, dalam diam yang penuh makna, ia berdiri tegak, wajahnya memantulkan kebangkitan jiwanya. Ia paham bahwa kejahatan di era ini tak lagi hanya tentang mencuri harta benda—kejahatan terbesar kini adalah eksploitasi budaya, alam, dan lebih tragis lagi, eksploitasi agama.
Dunia yang dulu ia kenal, kini dihadapkan pada ujian yang lebih halus namun mematikan. Dengan tatapan tajam yang menyapu penonton, ia berbisik dengan suara berat,
“Saya titipkan warisan leluhur Melayu, jangan sampai hilang tergerus kemegahan duniawi.”
Lalu dengan lantang, menggema ke seluruh sudut ruangan,
“Takkan Melayu Hilang di Bumi. Bumi Bertuah, Negeri Beradat!, salam rumpun Melayu” Teriakannya disambut oleh sorak sorai dan tepukan meriah dari para penonton yang tersentuh oleh pesan mendalam itu.
Performa epik dalam monolog Rizal Aria Putra, tidak hanya memukau penonton, tetapi juga mendapat apresiasi khusus dari pihak penyelenggara.
Welhendri Azwar, Wakil Rektor 3 UIN Imam Bonjol Padang, dengan bangga mengundang tim monolog dari UIN KHAS Jember untuk tampil di Malam Puncak SeIBa International Festival, sebuah ajang bergengsi yang hanya menampilkan karya-karya terbaik dari berbagai penjuru. Undangan ini menjadi sebuah kehormatan tersendiri bagi UIN KHAS Jember, mengukuhkan prestasi mereka di tingkat internasional.
Menanggapi kabar menggembirakan ini, Khoirul Faizin, Wakil Rektor 3 UIN KHAS Jember, tak dapat menyembunyikan rasa bangganya.
Ia memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas capaian luar biasa tim mahasiswa tersebut.
“Ini bukti bahwa potensi SDM kita, terutama mahasiswa, patut diandalkan dan layak diperhitungkan,” ucapnya dengan penuh kebanggaan,28/09/2024.
Keberhasilan ini, lanjutnya, bukan hanya sekadar pencapaian individu, melainkan bukti bahwa UIN KHAS Jember mampu bersaing dan berdiri sejajar dengan institusi lain di kancah internasional.
Khoirul Faizin juga menegaskan komitmen universitas untuk terus melakukan pembinaan terhadap bakat dan minat mahasiswa, agar prestasi-prestasi serupa dapat dicapai, baik di tingkat nasional maupun internasional. “Pembinaan bakat dan minat mahasiswa akan diprioritaskan, dan dilakukan secara berkesinambungan,” pungkasnya, menutup dengan optimisme tinggi tentang masa depan mahasiswa UIN KHAS Jember yang semakin cemerlang di pentas dunia.