Frensia.id- “Demi Nama Baik Kampus” – judul yang terdengar serius, hampir seperti janji manis dari kampus yang selalu menjaga citra baiknya, tapi justru di baliknya ada kisah yang bikin kita terpikirkan dua kali.
Film pendek ini, yang tayang pada 14 Desember 2021, mengusung tema yang sangat relevan dengan isu sosial kita, yaitu kekerasan seksual di kampus. Film berdurasi 32 menit 15 detik ini disutradarai oleh Andi T, dan dibantu oleh Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Ceritanya berfokus pada Sinta, seorang mahasiswi cerdas yang tengah menulis skripsi tentang R.A. Kartini. Sinta merasa penggambaran Kartini yang ada di media terlalu terkesan pasrah, padahal, menurutnya, ide-ide Kartini dalam surat-suratnya justru berani dan tajam, mengkritik ketidakadilan terhadap perempuan.
Tentu, ide skripsi ini diterima dengan baik oleh dosen pembimbingnya, Arie Santoso. Tapi, cerita ini bukan tentang bagaimana Sinta merampungkan skripsinya. Sebaliknya, ini adalah kisah tentang perjuangannya melawan kekuasaan yang tampaknya lebih memilih reputasi ketimbang keadilan.
Saat sedang bimbingan malam-malam dengan Arie, yang tadinya duduk dengan jarak yang sopan, sang dosen tiba-tiba “terlalu dekat” dan mulai mengalihkan pembicaraan ke ranah pribadi. Kejadian itu makin mencekam ketika Arie mencoba melakukan pelecehan seksual terhadap Sinta dan mengancamnya agar tidak melaporkan apa yang terjadi.
Sinta yang merasa tertekan akhirnya absen dari kuliah. Di sisi lain, Abi, sahabatnya yang setia, berusaha menenangkan dan mendukung Sinta agar bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Namun, meski Sinta telah berani menceritakan kejadian tersebut kepada rektor, kenyataannya justru berbeda. Rektor, yang lebih peduli pada reputasi kampusnya daripada melindungi korban, malah mengarahkan Sinta untuk menarik tuduhan dan mencabut permintaannya untuk pemecatan Arie.
Tentu saja, ini bukan akhir dari perjuangan Sinta. Dalam situasi yang sangat tidak berpihak ini, Abi kembali menunjukkan bahwa masih ada harapan melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas), yang akhirnya berhasil membantu kasus Sinta.
Yang paling menarik dari film ini adalah bagaimana alur cerita dibangun dengan penuh ketegangan, menggambarkan perasaan Sinta yang terjebak antara ketakutan dan keputusasaan. Semua kejadian yang dialami Sinta sangat menggugah kita untuk berpikir lebih dalam tentang masalah kekerasan seksual di kampus yang sering kali dianggap sebelah mata atau disembunyikan demi menjaga citra baik institusi.
Film ini menyampaikan pesan yang kuat bahwa bukan hanya korban yang membutuhkan perhatian, tetapi juga lingkungan sekitar yang perlu lebih sensitif terhadap masalah ini.
Namun, bukan hanya alur cerita yang menjadi kekuatan film ini. Ada sentuhan kecil tapi berdampak besar, yaitu tambahan teks percakapan yang memungkinkan penyandang disabilitas, terutama yang tuli atau bisu, untuk turut memahami pesan yang disampaikan. Ini menunjukkan bahwa film ini benar-benar berusaha untuk menyentuh banyak kalangan, tanpa terkecuali.
Tentu saja, ada beberapa hal yang bisa diperbaiki. Salah satunya adalah keberadaan film ini yang tidak ditayangkan di saluran televisi, membuatnya agak sulit diakses oleh khalayak yang lebih luas. Tidak semua orang aktif mencari film pendek di media sosial atau platform streaming, apalagi film yang mengangkat isu serius seperti ini.
Jika film ini lebih banyak ditayangkan di TV, bisa jadi dampaknya lebih besar dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kekerasan seksual di kampus.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aldy Solehudin Mahendra dan Ade Kusuma dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, film ini bukan hanya tentang cerita korban kekerasan seksual, tetapi juga bagaimana perempuan sering kali direpresentasikan sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya dalam narasi sosial.
Penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam film Demi Nama Baik Kampus, Sinta digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki kuasa dan menjadi korban dari sistem yang lebih mengutamakan nama baik kampus daripada keadilan. Ini menunjukkan adanya ideologi patriarki dan relasi kuasa yang timpang, yang diperkuat oleh bagaimana media (dalam hal ini, film) bisa memperkuat stereotip terhadap perempuan korban kekerasan seksual.
Tentu, melihat representasi perempuan dalam film ini bisa membuat kita terkejut, sekaligus berpikir keras. Bagaimana kita sebagai masyarakat bisa terus mempertahankan sistem yang menutupi atau menyalahkan korban kekerasan seksual demi menjaga citra dan reputasi?
Bahkan, di dunia akademis sekalipun, sering kali perempuan yang menjadi korban justru yang harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan keadilan.
Namun, di balik semua itu, film ini juga menyimpan harapan. Dengan adanya Satgas yang akhirnya berhasil membantu Sinta, kita diajak untuk percaya bahwa ada jalan keluar.
Meskipun jalannya berliku dan penuh tantangan, keberanian untuk berbicara dan melawan ketidakadilan selalu bisa membawa perubahan.
Demi Nama Baik Kampus, meski bukan film panjang dengan efek visual luar biasa, berhasil memberikan pesan yang kuat tentang pentingnya memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah ketimpangan kekuasaan.
Jadi, bagi para pejuang hak perempuan yang ada di luar sana, film ini bisa jadi obat semangat yang menyegarkan, meskipun diwarnai sedikit humor untuk meredakan ketegangan. Sebab, dalam dunia yang kadang terlalu serius ini, kadang kita butuh sedikit tawa untuk melawan kesedihan.