Frensia.id – Ada anggapan lama yang masih bertahan di ruang-ruang strategi sepak bola: tim yang kalah pasti bekerja lebih keras, lebih ngos-ngosan, lebih banyak mengejar bola. Tim yang menang? Main aman, pegang kendali, dan hemat tenaga. Tapi seiring makin pintarnya pelatih dan makin canggihnya perangkat pelacak pergerakan pemain, anggapan itu sudah layak dipajang di museum taktik masa lalu.
Dalam studi setahun penuh terhadap seluruh pertandingan UEFA Champions League musim 2022/23, logika itu justru diputarbalikkan. Penelitian ini mengamati 125 pertandingan menggunakan sistem pelacakan optik, lalu membedah performa fisik pemain berdasarkan posisi dan hasil akhir pertandingan.
Studi tersebut dituangkan dalam jurnal berjudul Physical performance discriminating winning and losing in UEFA Champions League: a full-season study—atau jika diterjemahkan bebas: Performa Fisik yang Membedakan Kemenangan dan Kekalahan dalam Liga Champions UEFA: Studi Satu Musim Penuh.
Ini bukan hasil tebak-tebakan warung kopi atau komentar pengamat dadakan. Tulisan ini terbit di Biology of Sport, jurnal ilmiah internasional bergengsi yang telah terindeks di Scopus Q1 dan Web of Science—dua pangkalan data paling disegani di dunia akademik. Jurnal ini terbuka untuk umum (open access), melalui proses telaah sejawat yang ketat, dan menjadi rujukan penting dalam bidang ilmu olahraga dan fisiologi. Singkatnya: ini ilmu yang berdiri di atas data, bukan dogma.
Dan hasilnya? Riset ini menunjukkan bahwa kemenangan ternyata tidak datang tanpa keringat ekstra. Justru, para pemain depan dan sayap—mereka yang dielu-elukan karena mencetak gol—adalah yang paling babak belur secara fisik. Sprint demi sprint, tusukan ke kotak penalti, hingga pressing tanpa henti menjadi harga yang harus dibayar untuk tiga poin. Menang, dalam konteks ini, bukan berarti lebih santai. Malah lebih melelahkan.
Data menunjukkan bahwa pemain ofensif menempuh jarak lari berintensitas tinggi sekitar 20 persen lebih banyak dalam laga yang dimenangkan ketimbang saat kalah. Bayangkan winger yang harus sprint menyerang, lalu balik badan menutup ruang di sisi sayap, berulang kali.
Sebaliknya, beban berat justru jatuh ke pundak pemain bertahan ketika timnya kalah. Saat lawan unggul dan terus menekan, bek harus kerja rodi. Bek tengah dan fullback dalam laga yang kalah mencatat sprint lebih banyak dibanding ketika mereka menang. Mereka tidak sekadar berlari, tapi menahan badai.
Lalu gelandang? Mereka tenang dalam segala cuaca. Baik menang maupun kalah, beban kerjanya nyaris serupa. Mungkin karena mereka adalah penjaga irama, pengatur tempo, sekaligus jembatan antara dua kutub permainan. Atau, seperti kata pelatih, kalau mesin tengah rusak, seluruh sistem akan tumbang.
Temuan ini penting. Sebab mitos bahwa “menang itu nyaman” bisa membuat pelatih abai terhadap kebutuhan pemulihan pemain. Di level elite seperti UCL, kemenangan sering dicapai melalui kerja fisik luar biasa. Jika tak diperhitungkan secara cermat, risiko cedera meningkat dan performa bisa anjlok di laga berikutnya. Pemain depan yang habis-habisan sprint tak cukup hanya diberi istirahat aktif. Mereka perlu pemulihan menyeluruh: fisioterapi, perawatan, bahkan rotasi skuad.
Hal serupa berlaku bagi bek yang timnya kalah. Mereka pun layak mendapat perhatian ekstra, karena tubuh mereka telah dipaksa melampaui batas, mengejar lawan yang sedang di atas angin.
Data kadang tidak ramah pada intuisi. Tapi justru karena itu, ia layak didengarkan. Ia membuka celah logika baru, menantang kebiasaan berpikir lama. Dalam hal ini, soal siapa sebenarnya yang paling lelah di lapangan. Karena seperti ditunjukkan dalam studi ini: di panggung sepak bola kelas dunia, menang bukan berarti berlari lebih sedikit—justru sebaliknya.