Frensia.id- Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, Tan Malaka semakin gencar untuk melakukan aksi-aksi demonstrasi. Ia selalu menolak adanya perundingan, yang mana menurutnya tindakan tersebut merupakan bentuk lain dari tipu muslihat.
Akibat tindakannya yang cukup keras tersebut, ia dikenal sebagai seorang revolusioner. Setelah sekian tahun meninggalnya “Bapak Republik Indonesia”, sebagaimana julukan yang disematkan oleh Muhammad Yamin, namanya tetap dikenang dan menjadi idaman kaum muda, sebagai seorang progresif.
Tragedi yang menimpa jalan hidup Tan Malaka dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia seolah telah lunas dengan nama harum yang ia sandang. Sebagaimana keputusan presiden republik Indonesia nomor 53 tahun 1963, ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Selain kisah perjuangannya melawan segala bentuk imperialisme yang sangat memukau dan menginspirasi, ternyata Ibrahim, sebagaimana nama asli Tan Malaka, memiliki kisah asmara yang cukup tragis dan tidak terbayarkan hingga akhir hidupnya.
Sebagaimana diceritakan, saat usianya belum genap 17 tahun, Ibrahim menolak untuk menerima gelar datuk. Sebagai anak laki-laki tertua keluarga Simabur, seharusnya ia mesti menerima gelar tersebut, sebelum ayahnya meninggal.
Sampai akhirnya, Ibrahim dengan terpaksa mengambil gelar tersebut, setelah ibunya, Sinah memberikan tawaran yang dianggap cukup berat baginya, yaitu “gelar datuk atau kawin”.
Ternyata terdapat alasan yang cukup kuat dibalik penerimaan akan tawaran dari ibunya tersebut. Tan lebih memilih menyandang gelar datuk muda daripada mengikuti alur perjodohan, karena pada waktu itu terdapat seorang perempuan yang sudah menjadi incarannya.
Perempuan tersebut bernama Syarifah Nawawi. Ia adalah satu-satunya gadis Minang yang pertama kali mengecap pendidikan ala Eropa dan satu kelas dengan Tan Malaka. Istimewanya lagi, Syarifah merupakan satu-satunya perempuan dari 16 murid.
Setelah Tan Malaka melanjutkan studi ke Belanda dan harus berpisah ribuah Mil dengan Syarifah, ia tidak henti-hentinya untuk berkirim surat tanpa satu pun yang terbalaskan. secara pribadi gadis Minang tersebut pernah memberikan komentar, “Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh”, ujarnya kepada Hary. A Poeze, seorang sejarawan Belanda.
Relasi Tan Malaka harus terputus untuk selamanya, setelah Syarifah menikah dengan R.A.A Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang sudah punya lima anak dari dua selir.
Akibat kejadian tersebut, muncul anekdot dari kalangan sejarawan dan penulis biografinya, Tan menjadi marxis karena gadis yang ditaksir direbut oleh seorang feodal, oleh karena itu dia sangat anti borjuis, karena trauma akan kegagalan cinta pertamanya.
Kisah tragisnya dengan Syarifah tidak berhenti disitu, pada tahun 1924, Wiranatakoesoema menceraikannya dengan dikaruniai tiga anak.
Kondisi tersebut seolah menjadi angin segar dan akhirnya Tan Malaka memberanikan diri untuk meminangnya dan lagi-lagi ditolak, bahkan dalam kondisi Syarifah yang telah menjadi seorang janda sekalipun.
Kisah Tan Malaka dengan perempuan-perempuan banyak sekali, di setiap negara yang menjadi pelariannya memiliki cerita tersendiri, akan tetapi kisahnya dengan Syarifah sepertinya yang paling tragis.
Meskipun demikian berdasarkan pengakuannya, Tan Malaka pernah jatuh cinta sebanyak tiga kali dan salah satunya adalah gadis Minang tersebut.