Frensia.id- Diteliti, Robert Gray merupakan pemikir yang fokus pada filsafat seksualitas. Ia memperkenalkan konsep seksualitas tanpa kenikmatan dalam karyanya, Sex and sexual perversion, terbit tahun 1978.
Alan Soble, seorang peneliti dari Orleans berupaya membaca gagasannya. Ia menulis riset berjudul, “The Philosophy of Sexuality”. Telah terbit pada tahun 2013 silam.
Menurutnya, diskusi mengenai apa yang sebenarnya mendefinisikan “aktivitas seksual” kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, psikolog, dan aktivis. Berangkat dari analisis kontroversial yang diajukan oleh pemikir Gray, muncul perdebatan mengenai apakah kenikmatan seksual harus menjadi kriteria utama untuk mendefinisikan suatu tindakan sebagai aktivitas seksual.
Kenikmatan Seksual sebagai Syarat Esensial?
Dalam pandangannya, Gray menyatakan bahwa sebuah tindakan seksual harus menghasilkan kenikmatan untuk dapat disebut sebagai aktivitas seksual. Ini berarti, menurut pandangannya, jika seseorang tidak menikmati hubungan seksual, maka secara logis, tindakan tersebut tidak dianggap sebagai aktivitas seksual.
Pendekatan ini mungkin terdengar provokatif, tetapi Gray berpendapat bahwa kenikmatan adalah inti dari seksualitas. Dia bahkan menggambarkan skenario yang kontroversial: hubungan seksual tanpa kenikmatan mungkin tidak layak disebut “seksual” sama sekali.
Pandangan ini menuai kritik tajam dari banyak pihak. Mereka yang menentang pandangan Gray menyatakan bahwa pendekatan ini menyederhanakan seksualitas manusia dan gagal mengakomodasi realitas bahwa orang dapat terlibat dalam hubungan seksual tanpa memperoleh kenikmatan.
Misalnya, pasangan yang telah kehilangan minat seksual satu sama lain namun tetap melakukan aktivitas fisik mungkin tidak merasa puas, tetapi tindakan mereka masih dianggap sebagai “aktivitas seksual” oleh sebagian besar masyarakat.
Konsekuensi dari Pendekatan Gray
Salah satu konsekuensi paling mengkhawatirkan dari analisis Gray adalah dalam konteks kekerasan seksual. Jika kenikmatan menjadi satu-satunya penentu aktivitas seksual, maka kasus seperti pemerkosaan atau kekerasan seksual yang tidak melibatkan kenikmatan bagi korban mungkin, dalam definisi Gray, tidak dapat disebut sebagai aktivitas seksual.
Hal ini tentu mengundang pertanyaan etis yang serius. Menurut ahli hukum dan aktivis hak asasi manusia, definisi ini dapat menciptakan distorsi dalam pemahaman kita tentang kekerasan seksual.
Pendekatan ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berbahaya. Kekerasan seksual tidak pernah tentang kenikmatan, melainkan tentang kekuasaan dan kontrol. Kita tidak bisa menghapus status ‘seksual’ dari tindakan tersebut hanya karena tidak ada kenikmatan.
Lebih jauh lagi, Alan Soble memunculkan dilema tentang apakah kenikmatan seksual dapat digunakan sebagai ukuran moralitas. Jika kita hanya mengakui aktivitas seksual yang memberikan kenikmatan sebagai tindakan seksual yang “berhasil,” ini akan mengabaikan kenyataan bahwa aktivitas seksual sering kali memiliki dimensi yang lebih kompleks.
Selain itu, ini menciptakan ruang untuk mengaburkan batas-batas penting antara tindakan seksual yang bermoral dan tidak bermoral.
Sebaliknya, mereka yang mendukung pendekatan yang lebih inklusif menyarankan bahwa aktivitas seksual harus dipandang dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup baik dimensi fisik maupun emosional.
Menyederhanakan seks menjadi soal kenikmatan saja mengabaikan dinamika yang lebih mendalam dari hubungan seksual. Seksualitas bukan hanya tentang kesenangan; ini juga tentang hubungan, rasa saling percaya, dan bahkan keinginan untuk berprokreasi.
Perdebatan seputar definisi aktivitas seksual ini membuka wacana penting tentang bagaimana kita mendekati seksualitas manusia? Meski pandangan Gray memprovokasi diskusi yang menarik, kritik terhadap pendekatannya juga memberikan wawasan penting tentang kompleksitas pengalaman seksual manusia.
Pada akhirnya, seks tidak bisa diukur hanya dengan kesenangan fisik, karena ia melibatkan berbagai aspek—baik fisik, emosional, maupun sosial.
Seksualitas adalah bagian yang rumit dari kehidupan manusia, dan upaya untuk mendefinisikannya secara sempit mungkin justru akan mempersempit pemahaman kita tentang fenomena tersebut.
Bagi banyak pihak, penting untuk melihat seks tidak hanya dari perspektif kenikmatan, tetapi juga dari dimensi lainnya yang membuatnya menjadi bagian penting dari hubungan manusia.