Frensia.id– Tubuh Polri tengah berada di sorotan publik. Tuntutan evaluasi dan pembenahan tidak lagi sebatas wacana, melainkan desakan yang benar-benar dinanti. Gerakan Nurani Bangsa (GNB), yang berisi sejumlah tokoh lintas profesi dan agama, secara terbuka menyodorkan daftar panjang problem kepolisian. Mereka mewakili suara publik yang resah, yang merasa keadilan kerap tidak hadir dari aparat yang mestinya menjadi pelindung.
Gayung pun bersambut, Presiden Prabowo pun merespons dengan menyetujui pembentukan Komite Reformasi Polri. Langkah Presiden ini menunjukkan bahwa kegelisahan publik tidak lagi bisa dipandang sebagai keluhan biasa. Ia sudah menjelma menjadi desakan nurani bangsa yang serius.
Dosa-Dosa Polri
Istilah “dosa-dosa” Polri tentu bukan sekadar tudingan emosional, melainkan bahasa lain dari kesalahan-kesalahan mendasar yang sudah lama menggerogoti tubuh kepolisian. Sebagai sebuah institusi hukum, Polri mestinya berdiri di garis terdepan menjaga keadilan, tetapi dalam praktiknya justru sering dituding melanggar prinsip keadilan itu sendiri.
Kekerasan aparat terhadap warga sipil masih menjadi catatan kelam yang berulang. Alih-alih melindungi, sebagian oknum menjadikan kewenangan sebagai alat penindasan. Nepotisme pun tumbuh subur: orang yang cakap dan berintegritas sering kali tersingkir hanya karena tidak memiliki akses pada jaringan kekuasaan internal. Pola patronase ini tidak hanya merusak meritokrasi, tetapi juga melahirkan generasi aparat yang lebih setia pada atasan daripada pada hukum.
Tak kalah serius adalah praktik pemerasan, pungutan liar, dan “backing” terhadap kejahatan. Fenomena hilangnya barang bukti atau kasus yang tiba-tiba “menghilang” dari proses hukum menambah daftar panjang dosa institusional. Semua ini membentuk kultur ketidakpercayaan di mata publik.
Kesalahan-kesalahan itu, sebagaimana diungkap Mahfud Md dalam forum ILC berdasarkan masukan sejumlah purnawirawan dan anggota internal, bukanlah isu remeh, melainkan penyakit kronis yang nyata. Pesan pentingnya jelas: “dosa-dosa” Polri tak bisa lagi diperlakukan sebagai ‘rahasia umum’ yang ditutup-tutupi
Di titik inilah relevan mengutip apa yang diuraikan Mahfud MD dalam forum ILC. Ia menegaskan bahwa masalah Polri terbagi dalam tiga lapisan: struktural, instrumental, dan kultural. Secara struktural, pemisahan Polri dari TNI sudah selesai. Secara instrumental, perangkat hukum dan aturan disiplin sudah tersedia. Tetapi secara kultural, justru di sinilah dosa-dosa itu berakar dan tumbuh.
Komite Reformasi Polri
Presiden Prabowo Subianto menyetujui pembentukan Komite Reformasi Polri sebagai respons atas desakan publik, khususnya Gerakan Nurani Bangsa (GNB). Persetujuan ini diumumkan usai pertemuan di Istana, (11/9/2025). Komite tersebut disiapkan melalui Keputusan Presiden, menegaskan statusnya sebagai badan ad hoc.
Rencananya, komite ini akan melibatkan berbagai unsur: tokoh masyarakat, akademisi, pakar hukum, lembaga independen, hingga perwakilan internal Polri. Salah satu yang disebut sudah diminta turut serta ialah Prof. Mahfud MD. Komposisi lintas sektor ini dimaksudkan agar gagasan reformasi tidak terjebak pada kepentingan birokrasi semata.
Sifat eksternal menjadi keunggulan utama. Komite relatif lebih bebas dari tekanan struktural Polri, sehingga kritik bisa dilontarkan tanpa sungkan. Ruang partisipasi publik juga lebih luas, memberi kesempatan bagi masyarakat untuk ikut mendorong rekomendasi kebijakan. Dengan begitu, reformasi tak sekadar milik elite, tetapi juga suara rakyat.
Mandat komite ini, sebagaimana dilansir dari podcast Akbar Faizal Uncensored, dirumuskan melalui Keputusan Presiden Prabowo Subianto. Struktur dan anggota lintas sektor—dari Polri, tokoh masyarakat, akademisi, hingga praktisi hukum—akan segera ditetapkan. Tugasnya menyiapkan rekomendasi reformasi struktural, regulasi, hingga revisi UU Kepolisian, dengan tujuan akhir membangun Polri yang transparan dan akuntabel.
Transformasi Reformasi ala Polri
Namun, sebelum komite itu terbentuk, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah lebih dulu membentuk tim internal bernama Tim Transformasi Reformasi Polri. Tim ini beranggotakan 52 perwira tinggi dan menengah, dengan struktur yang dipimpin Kalemdiklat Polri. Tugas utamanya adalah mengevaluasi program dan kinerja internal, memperbaiki kualitas SDM, kultur kerja, pelayanan publik, sekaligus menampung masukan masyarakat.
Kapolri menegaskan bahwa tim ini bukan tandingan komite bentukan Presiden, melainkan langkah percepatan internal agar Polri lebih siap menghadapi gelombang reformasi. Keunggulan pendekatan internal adalah akses langsung pada data, kultur, dan mekanisme kerja kepolisian. Tetapi kelemahannya jelas: tanpa pengawasan eksternal yang kuat, transformasi internal rawan berhenti pada perubahan kosmetik semata.
Reformasi atau Transformasi?
Jika ditimbang dari perspektif hukum dan tata negara, keduanya seharusnya tidak diposisikan sebagai pertarungan, melainkan sebagai instrumen yang saling menguatkan. Ada setidaknya tiga argumen penting.
Pertama, secara hierarkis, Komite Reformasi Polri bentukan Presiden lebih tinggi kedudukannya. Ia membawa legitimasi politik dan hukum, serta merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Evaluasi eksternal ini lebih objektif karena tidak terikat pada loyalitas internal.
Kedua, meski demikian, tim internal Polri tetap relevan. Ia bisa menjadi laboratorium awal untuk menguji langkah-langkah kecil yang realistis dilakukan di tubuh kepolisian. Reformasi besar selalu butuh persiapan internal agar tidak sekadar menjadi dokumen rekomendasi yang sulit diimplementasikan.
Ketiga, reformasi sejati hanya akan berhasil bila kedua jalur ini saling mengisi. Komite Presiden memberi arah dan desain besar, sementara tim internal memastikan bahwa desain itu tidak berakhir sebagai teori semata. Reformasi tanpa transformasi internal akan melahirkan resistensi; sebaliknya, transformasi tanpa reformasi eksternal akan kehilangan legitimasi.
Yang lebih penting adalah langkah nyata, keberanian menghadirkan meritokrasi, menindak tegas pelanggaran, serta membangun kultur pelayanan publik yang berkeadilan. Karena pada akhirnya, pilihan bukanlah antara reformasi atau transformasi, melainkan keberanian menjadikan keduanya sebagai jalan ganda menuju Polri yang profesional, akuntabel, dan dipercaya rakyat.
Tanpa keberanian itu, reformasi hanya akan menjadi jargon, dan transformasi hanya akan menjadi kosmetik.