Frensia.id – Dunia Ini Formal. “Sepintar apapun seseorang kalau tidak pegang SIM tidak boleh mengemudi. Sealim apapun seseorang kalau tidak punya ijazah sarjana tidak bisa jadi dosen. Selengang apapun kondisi lalu lintas kalau lampu merah sedang menyala kendaraan tidak boleh terus”. Petuah KH. Afifuddin Muhajir ini terkesan sederhana, tapi siapa sangka, dibaliknya terselip pesan mendalam tentang dunia yang terkungkung oleh simbol dan aturan formal.
Dunia ini tampaknya sangat serius dengan urusan-urusan legalitas, apalagi Indonesia yang sejak lama sudah mendeklarasi sebagai negara hukum. Legalitas menjadi ukurannya. Surat Izin Mengemudi (SIM), misalnya, bukan hanya izin mengemudi, namun simbol kuasa atas akses ke jalan raya. Tidak bisa seorang sekalipun jago bak Valentino Rossi saat ditilang dan tak punya SIM, lalu bilang ke polisi “Pak, saya ini supir jagoan keluarga”. Sang polisi bisa saja dengan tenang merespon, “keluargamu bukan yang bikin aturan.”
Begitu pula berlaku bagi ijazah. Santri yang hafal dan paham kitab kuning gagal jadi tenaga pendidik di perguruan tinggi karena ia tak punya gelar sarjana. Lalu mau protes “ilmu saya sudah diuji dan lulus mumtaz di pesantren”, kampus tetap menolak. Di dunia akademik yang serba formal seperti perguruan tinggi, secerdas apapun seseorang, tanpa ijazah ia nilai “belum memenuhi persyaratan ilmiah.”
Oleh karena itu, belakangan gelar akademik di perguruan tinggi menjadi primadona yang selalu diserbu. Terutama gelar-gelar prestisius, seperti guru besar, gelar doktor atau doktor honoris causa. Semua itu menjadi buruan tak lain karena gelar akademik tersebut dianggap sebagai simbol identitas intelektual seseorang. Apakah benar-benar intelektual, bukanlah jaminan.
Lebih kocak lagi soal lampu merah. Lampu merah yang harus membuat seseorang berhenti di perempatan meskipun sepi. Ini menunjukkan aturan yang tak jarang dipatuhi tanpa pertanyaan, meski pada kondisi tertentu, aturan itu terlihat kurang relevan.
Petuah Kyai Afif Selengang apapun kondisi lalu lintas kalau lampu merah sedang menyala kendaraan tidak boleh terus, sedang tidak hanya berbicara lalu lintas. Ungkapan ini memperlihatkan dunia yang sering kali memaksa manusia mentaati regulasi dan prosedur tanpa menimbang apakah aturan tersebut masih relevan dengan kondisi yang mengitarinya. Pokoknya asal tunduk dan ‘patuh’.
Seperti inilah dunia formal. Kadangkala serius, sesekali aneh dan tak masuk akal. Aturan dibentuk untuk tujuan yang tertib, tapi seringkali terlihat kaku. Orang-orang layaknya robot mekanik, hidup dalam ruang hukum, gelar dan dokumen.
Meski demikian, jangan dikira aturan formal ini tidak ada manfaatnya. Tidak bisa dibayangkan, tanpa SIM, lalu lintas bisa berubah menjadi arena balap liar. Tanpa ijazah, dosen abal-abal akan berkeliaran. Dan, tidak adanya lampu merah, jalan raya akan menjadi arena adu klakson yang kian tak usai. Dunia formal memaksa seseorang tertib-meski kadang membuat terlihat ‘bodoh’ dihadapan aturan yang absurd.
Petuah Kyai Afif ini seolah mengingatkan dunia ini memang penuh aturan-formalitas yang mau tidak mau wajib dipatuhi. Namun, penting dicatat jangan menjadi robot yang kehilangan akal sehat. SIM itu penting, tapi kemampuan mengemudi lebih penting. Ijazah itu perlu, tapi nalar, pengetahuan dan ilmu adalah segalanya. Lampu merah wajib dipatuhi, tapi usahakan agar tidak berhenti selamanya disimpang hidup yang sepi.
Di tengah semua formalitas itu, sebagai manusia yang berpikir semestinya untuk tetap bijaksana, cerdas, dan kritis dalam mematuhi dunia formal. Inilah kenyataan dunia yang penuh dengan simbol dan regulasi, yang terkadang memaksa seseorang untuk lebih patuh pada prosedur daripada mengedepankan akal sehat dan kebijaksanaan.