Frensia.id – Debat hangat soal durasi penjajahan Belanda atas Indonesia melibatkan dua tokoh besar dengan pandangan unik: KH Abdul Mun’im dan Sujiwo Tejo. Keduanya memiliki argumen tajam yang menggambarkan dua cara pandang berbeda terhadap sejarah.
KH Abdul Mun’im Dz, seorang akademisi yang juga penulis buku sejarah KH Wahab Hasbullah, bersikeras bahwa bangsa Indonesia dijajah selama 350 tahun. Pernyataan ini ia sampaikan dalam ceramah yang ditayangkan di kanal YouTube Tambakberas TV.
Dalam video itu, Mun’im mendasarkan pandangannya pada penelitian mendalam tentang arsip-arsip sejarah NU. Ia menekankan bahwa Kiai Wahab, sebagai tokoh besar NU, telah mencatat data secara sistematis, termasuk durasi penjajahan bangsa asing.
Dalam penggalan video detik 23.50-26.07, Mun’im secara tegas dan yakin menyatakan bahwa Indonesia telah dijajah bangsa Asing selama tiga ratus lima puluh tahun.
“Jadi, Kiai Wahab itu menguasai sejarah, jadi, Kiai Wahab ini menyebutkan kolonial datang tanggal sekian bulan sekian kemudian pemerintahan sekian, itu rapi dan ditulis, bahwa sekarang ini, Belanda sudah menjajah kita tahun dua, 1927, Kiai Wahab menulis bahwa Belanda sudah menjajah kita selama 211, nah maka, kalo sampai 45, 350 tahun berarti kan bener itu,” tegasnya.
Mun’im memandang catatan sejarah semacam ini penting untuk menjaga validitas fakta, terutama dalam menghadapi wacana baru yang cenderung meremehkan lamanya penjajahan.
Namun, Sujiwo Tejo, seniman sekaligus budayawan, memiliki pendapat berbeda. Dalam ceramahnya yang diunggah kanal YouTube SMC Mediavisitama, ia mengkritisi narasi sejarah yang menyebut Indonesia dijajah selama 350 tahun. Menurutnya, klaim itu adalah “versi penjajah”.
“tapi, sejarah memang ditulis oleh pemenang, iya, pertanyaanku Indonesia pemenang nggak? waktu perang kemerdekaan, pemenang, kenapa sejarah tetep kita dijajah oleh Belanda berapa tahun? 350 tahun, itu versi penjajah cok, yang bener kita dijajah Belanda itu 40 tahun. 310 tahun itu upaya Belanda untuk menjajah kita,” ujarnya pada menit ke-18.
Sujiwo berargumen bahwa penjajahan tidak berlangsung secara menyeluruh. Ia mencontohkan wilayah seperti Bali yang baru takluk pada 1930-an dan Aceh yang tak pernah benar-benar ditaklukkan.
Menurutnya, narasi 350 tahun penjajahan hanya menanamkan rasa minder pada bangsa Indonesia.
“Bali baru takluk 1930-an, Aceh malah belum pernah, tapi dari anak-anak kita cekoki bahwa kita dijajah 350 tahun, akibatnya kita jadi bangsa yang minder. Bagaimana nggak minder aku selalu sedih setiap ada orang asing pakai batik kita yang bangga, ndasmu, mereka yang harus bangga” tambahnya dengan nada kritis.
Perdebatan ini memunculkan dua sudut pandang berbeda tentang sejarah. Mun’im menggunakan pendekatan universal yang melihat Indonesia sebagai satu kesatuan besar di bawah penjajahan asing.
Di sisi lain, Sujiwo Tejo mengambil perspektif partikular, menyoroti kekuatan daerah-daerah yang tetap berdaulat meskipun ada upaya kolonialisasi. Salah satunya Aceh.
Mana yang benar? Jawabannya mungkin bergantung pada cara kita memandang sejarah. Mengakui 350 tahun penjajahan bisa membangun kesadaran kolektif sebagai bangsa yang pernah berjuang di bawah tekanan asing.
Namun, pandangan seperti Sujiwo Tejo dapat memberi dorongan psikologis bagi generasi muda untuk bangga atas kekuatan lokal yang mampu melawan penjajahan.
Apapun pandangannya, perdebatan ini menunjukkan pentingnya sejarah sebagai alat refleksi. Ketimbang terjebak dalam angka, yang terpenting adalah bagaimana sejarah dapat membangkitkan semangat dan karakter bangsa.
Penulis : Imam Muhajir Dwi Putra
Editor : Ibn Syah