Frensia.id- Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dinamika politik Indonesia terus memanas dengan berbagai persinggungan ideologi yang meresap hingga ke media arus utama.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Jane Ahlstrand dan Vegneskumar Maniam di Asian Studies Review pada 2024, analisis mengenai penggambaran RA Kartini menjadi sorotan utama. RA Kartini, aktivis pendidikan pribumi dan feminis dari era kolonial Belanda, tetap menjadi ikon yang memancarkan pengaruh besar selama lebih dari satu abad di Indonesia.
Namun, kekuatan simbolisnya yang kuat telah menjadi alat untuk berbagai tujuan politik yang sering kali tidak terarah dan bersifat manipulatif.
Menurut penelitian ini, citra Kartini di media daring arus utama Indonesia selama periode kedua pemerintahan Jokowi mencerminkan persinggungan ideologi yang kompleks.
Kartini, sebagai ‘penanda yang mengambang’, mampu menyerap berbagai makna dan ideologi yang terus berubah-ubah seiring waktu. Melalui pendekatan analisis wacana kritis, Ahlstrand dan Maniam mengungkap bagaimana media berita daring menjadi cermin dari wacana politik yang dominan dan terus berkembang.
Wacana-wacana ini mencakup berbagai ideologi seperti feminisme konservatif, neoliberalisme, kesalehan Islam yang telah dilunakkan, serta nasionalisme yang kadang terkesan asal-asalan. Representasi Kartini dalam media daring pun menjadi sarana yang menampilkan persilangan ideologi tersebut.
Sebagai contoh, sebagian media memanfaatkan simbol Kartini untuk memperkuat narasi feminisme konservatif yang menekankan peran domestik wanita, sementara lainnya menyisipkan nilai-nilai kesalehan Islam dengan cara yang lebih lunak dan diterima oleh audiens Muslim yang moderat.
Lebih jauh, neoliberalisme juga berkelindan dalam representasi ini, menempatkan Kartini sebagai simbol kerja keras dan keberhasilan individu dalam menghadapi tantangan, sejalan dengan narasi meritokrasi yang kerap diusung oleh media pro-pasar.
Di sisi lain, nasionalisme, terutama yang digaungkan selama era Jokowi, turut disisipkan dalam penggambaran Kartini. Namun, nasionalisme ini terkadang terkesan dipaksakan dan kurang berakar dalam wacana yang lebih menyeluruh, menjadikannya seperti simbol yang asal-asalan.
Penelitian Ahlstrand dan Maniam ini memperlihatkan betapa eratnya hubungan dialektis antara wacana media dan politik di era Jokowi. Media daring tidak hanya menjadi pengantar informasi, tetapi juga alat untuk membentuk dan mereproduksi ideologi politik yang ada.
Representasi RA Kartini menjadi salah satu cerminan bagaimana media dapat digunakan untuk membentuk persepsi publik sesuai dengan agenda politik tertentu.
Dalam konteks ini, era Jokowi menunjukkan tantangan besar dalam mengelola persinggungan ideologi yang muncul di ruang publik.
Pendekatan yang tidak terarah dalam representasi tokoh-tokoh bersejarah seperti Kartini menunjukkan perlunya keseimbangan yang lebih baik dalam mengelola simbol-simbol nasional untuk mencerminkan nilai-nilai yang lebih utuh dan relevan dengan masyarakat saat ini.