Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Kamis, 24 April 2025 - 21:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Di sudut-sudut pesantren tradisional, di antara aroma kopi hitam dan tumpukan kitab kuning. Barangkali kita seringkali menemukan wajah perempuan yang lebih hadir dalam peran domestik atau pendukung.

Namun sejarah sosial Islam di Indonesia juga memperlihatkan tumbuhnya gerakan perempuan yang bersumber dari akar tradisi, tapi membuka ruang perubahan. Fatayat NU, organisasi perempuan muda Nahdlatul Ulama, adalah salah satunya—bergerak dalam sunyi, tapi mantap menandai jejak perubahan.

Monika Arnez dalam jurnalnya, Empowering Women Through Islam: Fatayat NU Between Tradition and Change, mengajak kita menyimak bagaimana Fatayat NU bertumbuh: dari kegiatan pengajian, pendidikan dasar, hingga ke panggung-panggung advokasi sosial dan reinterpretasi teks agama. Ini bukan soal pertentangan, melainkan soal partisipasi yang lebih luas dan aktif dari perempuan dalam memaknai dan mempraktikkan ajaran Islam.

Fatayat NU lahir dari rahim pesantren, dan tumbuh dalam lingkungan keagamaan yang sarat nilai tradisional. Di awal kemunculannya tahun 1950, mereka menghadapi tantangan untuk diakui sebagai badan otonom NU. Barulah pada 1962 status itu dikukuhkan.

Meski demikian, sejak awal para perempuan muda NU ini sudah menunjukkan semangat berkumpul, belajar, dan berorganisasi secara mandiri. Perjalanan panjang itu menunjukkan bahwa perubahan bisa lahir dari dalam, bukan dengan menghapus tradisi, tapi menumbuhkannya ke arah yang lebih inklusif.

Salah satu kekuatan Fatayat NU adalah kemampuannya membumikan nilai-nilai keislaman dalam isu-isu aktual masyarakat. Mereka aktif dalam edukasi kesehatan reproduksi, pendampingan korban kekerasan rumah tangga, serta kampanye melawan perdagangan manusia. Melalui lembaga seperti LKP2 dan PIKER, mereka menghadirkan layanan yang berbasis nilai keislaman dan kontekstual dengan kebutuhan masyarakat.

Baca Juga :  Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Di sisi keilmuan, Fatayat juga menonjol dalam upaya menafsir ulang sumber-sumber Islam dengan pendekatan yang berperspektif keadilan. Tafsir ulang ini bukan dalam rangka menggugat, tetapi menghidupkan kembali semangat rahmatan lil ‘alamin yang melekat dalam risalah Islam.

Mereka menekankan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk yang membahas relasi laki-laki dan perempuan, perlu dipahami dalam terang maqasid syariah—tujuan-tujuan luhur syariat: keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan hak dasar manusia.

Fatayat NU juga tidak menghindari ruang publik. Mereka hadir dalam diskursus politik, terutama dalam momen-momen strategis seperti perdebatan soal kepemimpinan perempuan. Bagi mereka, syarat pemimpin adalah kompetensi dan integritas, bukan jenis kelamin. Namun, mereka menyampaikan hal itu dengan tetap menghormati otoritas keagamaan, menjembatani ruang dialog antara teks dan konteks, antara nilai-nilai keislaman dan kebutuhan zaman.

Fatayat NU tidak tampil sebagai tandingan siapa pun. Mereka justru hadir sebagai pelengkap sekaligus penguat dalam gerakan keagamaan yang lebih ramah perempuan. Mereka tidak hendak mengambil alih ruang, tetapi memperkaya maknanya.

Mereka pula tidak menentang otoritas keagamaan, tetapi menyumbang gagasan. Inilah yang membuat mereka unik: modern dalam cara berpikir, tetapi tetap teguh berpijak pada tradisi.

Fatayat NU bukan sekadar organisasi perempuan, melainkan representasi Islam yang tumbuh bersama dinamika kehidupan. Ia menunjukkan bahwa perempuan tak hanya hadir dalam ruang ibadah, tetapi juga dalam tafsir, kebijakan, dan aksi sosial. Dalam kerja-kerja senyapnya, tergambar wajah Islam yang menyapa dengan kelembutan, merangkul dengan keadilan, dan bergerak dengan kepedulian.

Baca Juga :  Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Kini, organisasi ini sudah berusia tujuh puluh lima tahun bukan usia muda—jika organisasi bisa dibaratkan manusia, maka Fatayat NU kini berada di usia matang. Usia yang sudah banyak makan garam kehidupan, penuh pelajaran, penuh ujian.

Ia tidak lagi sekedar organisasi perempuan muda, tapi telah menjelma menjadi lembaga sosial keagamaan yang memikul tanggung jawab sejarah: menjaga tradisi, menanggapi zaman.

Dalam logo harlah ke-75 yang baru saja dirilis, pesan itu ditegaskan oleh Ketua Umum PP Fatayat NU, Margaret Aliyatul Maimunah: progresif, dinamis, dan tetap mengakar. Sebuah wajah perempuan muda NU yang tidak gamang berpindah dari sejarah, tapi juga tidak gentar menatap masa depan. Oleh karena itu, harapan pun tumbuh bersama usia. Bahwa Fatayat NU tidak berhenti menjadi pengingat, tapi menjadi penggerak.

Program-program mereka hari ini tidak lagi hanya soal pengajian dan pelatihan dasar, tetapi juga mencakup isu-isu kontemporer: kesetaraan, perlindungan anak, pencegahan kekerasan seksual, hingga transformasi digital di kalangan perempuan muda.

Fatayat NU, dengan segala warisan dan tantangan di pundaknya, bukan hanya penjaga masa lalu. Ia adalah pejalan kaki yang sedang menulis masa depan. Semoga*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Meluruskan Makna Kemanusiaan
Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik

Baca Lainnya

Kamis, 24 April 2025 - 21:45 WIB

Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

TERBARU

Babi hutan liar saat sudah diburu warga (Sumber foto: istimewa)

Regionalia

Pasutri di Jember Diseruduk Babi Hutan Liar Saat Mandi

Jumat, 25 Apr 2025 - 17:19 WIB

Opinia

Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Kamis, 24 Apr 2025 - 21:45 WIB