Frensia.id – Fenomena nikah siri online sedang marak terjadi di Gresik, Ironisnya pernikahan yang secara diam-diam tersebut dilakukan tanpa adanya wali. Warga yang ingin menggunakan jasa nikah siri ini harus menyediakan jutaan rupiah yang harus dibayarkan kepada penyedia jasa nikah siri tersebut.
Peristiwa ini mengundang tokoh agama dan organisasi keagamaan turut merespon fenomena yang tidak sesuai dengan ketentuan negara bahkan merugikan pihak istri (perempuan).
Dilansir dari Detik.com ketua umum MUI Jawa Timur KH Mutawakkil ‘Alallah, menyebutkan secara fiqh masih ada celah untuk dibuat sah. Misalnya dengan taukil atau menggunakan wali hakim dan lainnya.
Namun, jika dilihat secara maslahat tentu pihak perempuan akan dirugikan. Terlebih pihak suami atua laki-laki tidak memiliki pemahaman mengenai hukum agama. Berpotensi besar mengabaikan hak-hak istri sirinya.
Oleh karena itu, salah satu Ulama tersohor di kalangan Nahdlatul Ulama jatim tersebut menyarankan sekalipun bisa “diakali” melalui jalur fiqh, namun jauh lebih baik jika menggunakan kesepakatan ulama. DI Indonesia, kesepakatan ini berupa kompilasi hukum Islam (KHI) atau inpres No 1 tahun 1999.
Perkawinan menurut KHI adalah adalah akad yang sangat kuat atau mithaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Ketua MUI Jawa Timur tersebut mewanti masyarakat akad nikah sesuai undang-undang perkawinan. Tujuannya agar tidak ada pihak yang dirugikan dari sebuah pernikahan yang ditimbulkannya dikemudian hari.
Fenomena nikah siri ini jika dibiarkan ada dan masyarakat turut menyuburkan dengan membiasakan diri menikah tanpa di catatkan sesuai prosedur negara, maka yang rugi adalah masyarakat itu sendiri. Utamanya kaum perempuan, jangankan nikah sirri online tanpa wali, nikah sirri dengan adanya wali masih berdampak buruk bagi perempuan.
Keadilan perempuan akan diberangus, pasalnya nikah sirri tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak ada anta autentik. Untung jika dapat suami yang baik dan bertanggung jawab, bagaimana jika tidak. Bisa kacau ikatan perkawinannya, bukan untung tapi buntung.
Kapan saja laki-laki “si hidung belang” yang tidak punya komitmen dan tanggung jawab dalam perkawinannya dapat meninggalkan istri tanpa bisa dituntut hukum apapun. Pihak perempuan tentu rugi, ia tidak bisa menuntut nafkah dan pada akhirnya haknya hangus.
Hendri Kroniko dalam Disertasinya Problematika Nikah Sirri mengungkapkan selama ini nikah dibawah tangan atau nikah sirri cenderung merugikan pihak perempuan (istri) dan anak atau anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri. Hal ini dikarenakan seorang suami mempunyai kewajiban memberikan nafkah pada istri dan anak-anaknya yang dilahirkan dari pernikahan sirri.
Namun, karena bukti secara tertulis seperti buku nikah sebagai bentuk perjanjian hitam diatas putih tidak ada, suami dengan mudah mengingkari kewajibannya. Bahkan meninggalkan atua menelantarkan begitu saja istri dan anak hasil nikah sirri tersebut.
Sementara istri dan anak tidak dapat berbuat banyak, karena tidak adanya bukti yang dibenarkan secara hukum negara. Lebih dari itu, Hendri Kroniko dalam riset doktor tersebut menyebutkan dampak negatif perkawinan sirri yaitu anak hasil perkawinanya rentan menjadi korban eksploitasi.
Diantaranya, seperti pelacuran dan perdagangan anak, sebab biasanya mereka terlantar dan kurang terurus baik dari segi ekonomi, kesehatan, pendidikan maupun masa depannya.
Atas dasar itulah setiap pasangan yang hendak melakukan perkawinan harus melalui pejabat pencatatan nikah yang berwenang seperti di kantor urusan agama (KUA). Selama masyarakat masih menganggap biasa pernikahan sirri, secara tidak langsung mereka telah mengiyakan dan menyuburkan tergerusnya keadilan bagi perempuan.
Perempuan, sebagai pihak istri tak ubahnya hanya pelayan seksual saja, selebihnya mereka belum dikatakan istri yang seutuhnya. Perkawinan yang diakui negara adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang dilakukan sesuai tuntunan agama dan dicatatkan oleh negara. (*)
*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)