Mariposa merupakan sebuah film romance remaja yang diadaptasi dari sebuah novel karya Luluk HF dengan judul yang sama. Disutradarai oleh Fajar Bustomi dan tayang perdana di bioskop pada tanggal 23 Maret 2020.
Luluk HF sendiri merupakan seorang penulis cerita yang berasal dari Laren, Lamongan. Ia aktif mengunggah karyanya di wattpad, selain novel Mariposa ada pula karyanya yang lain, yaitu El dan 12 Cerita Glen Anggara. Keduanya juga diangkat menjadi film.
Dalam bahasa spanyol kata Mariposa sendiri berarti kupu-kupu. Berdasarkan nama cerita sepertinya penulis mencoba untuk menggunakan simbolisme karakter lewat serangga bersayap tersebut.
Hal ini dapat dilihat oleh penonton pada sosok laki-laki pemeran utama, bernama Iqbal Guanna Freedy yang dimainkan oleh aktor tampan asal Nusa Tenggara Barat, Angga Yunanda.
Iqbal mempunyai karakter sebagai laki-laki tampan, cerdas, berprestasi di sekolah, keahlian pada pelajaran Fisika tetapi mempunyai sifat yang sangat dingin terhadap siapapun. Yang ia pedulikan adalah nilai terbaik di kelas, sebagaimana tekanan dari ayahnya.
Sikapnya yang sangat dingin dan cuek bahkan cenderung anti sosial tersebut berasal dari ambisi sang ayah yang senantiasa menginginkan anaknya untuk menjadi nomor satu di kelas dan sekolanya. Kombinasi perasaan antara tertekan dan takut melahirkan sosok Angga dalam wujud Iqbal yang jarang tersenyum.
Sosok kupu-kupu yang dimaksud dalam cerita ini adalah Iqbal sendiri. Sebagaimana yang diistilahkan oleh lawan mainnya dengan kalimat “terkejar tetapi tak tergapai” yang diucapkan dalam sebuah scene.
Lawan main yang dimaksud disini adalah pemeran perempuan, yang bernama Nathasha Kay loovy atau yang dipanggil Acha. Diperankan oleh adhisty Zara Sundari Kusumawardhani, seorang mantan anggota JKT 48.
Beberapa penonton laki-laki yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap maskulinitas akan merasa cerita dalam novel ini kurang wajar bahkan tidak menarik.
Hal tersebut terjadi karena Luluk HF, menghendaki dalam cerita romance yang ia karang perempuannya yang mengejar dengan segala upaya dan mati-matian.
Sosok Acha adalah perempuan yang tanpa kenal lelah dan tanpa sedikitpun punya rasa malu mengejar laki-laki yang ia suka bernama Iqbal tersebut. Sekalipun terabaikan atau tak tergapai.
Penolakan terjadi berkali-kali dengan adegan yang cukup menghibur, sampai kemudian beberapa kalimat sarat makna diucapkan oleh Acha sebagai bentuk filosofi atas segala usahanya, seperti “batu sekeras apapun akan tembus oleh air yang terus-menerus ditetesin”.
Kalimat tersebut diucapkan dalam rangka perjuangan yang dilakukan Acha tanpa kenal rasa putus asa. Meskipun dari sudut pandang lain penonton akan merasa kasihan dan melihatnya sebagai tindakan keras kepala. Selaras dengan tanggapan yang disampaikan oleh pemain lain, Amanda, yang menjadi kawan baik Acha, “masalahnya Acha batu tersebut tidak mau ditetesin” sambutnya kepada Acha.
Sebagaimana cerita romance pada umumnya jarang sekali didapati berakhir dengan sadending. Begitu pula pada cerita ini, ada beberapa momen dalam skenario yang mengharuskan Acha akan selalu bertemu dengan Iqbal, yaitu pada saat mereka berdua terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade dengan ditambah satu orang pemeran pendamping, Juna. Ketiganya mewakili satu disiplin ilmu.
Di tengah kompetisi yang berpadu antara semangat dan ambisi menang jelas mereka bertiga terlibat pertautan emosi yang cukup dekat. Pada saat ini sosok Acha bukan lagi perempuan yang ceria, ia cenderung sudah mulai cuek.hal tersebut dikarenakan pada scene sebelumnya Iqbal mencemooh Acha dihadapan orang banyak secara keras dan keterlaluan.
Sampai pada akhir cerita, yang menjadi momen penentu bahwa cerita diakhiri dengan happyending adalah langkah terakhir Acha untuk emngundang seluruh teman di sekolahnya menghadiri pesta ulang tahunnya, termasuk Iqbal.
Niat Acha untuk tetap mengundang Iqbal menjadi indikasi bahwa dalam hatinya masih memiliki ruang harapan untuk seseorang yang berkali-kali menolaknya. Sampai disini diluar dugaan antara menyerah dan masih berharap, Iqbal ternyata hadir dengan membawa boneka sapi sebagai pertanda bahwa ia telah membuka hatinya untuk perempuan yang mengenakan kostum kupu-kupu kala itu.
Dilihat dari adegan yang ditampilkan film ini justru menghibur bukan dalam kapasitas genre yang disuguhkan, melainkan pada percakapan-percakapan yang berbalut komedi.
Adhisti Zara yang berperan sebagai Acha sudah kelihatan mahir mendalami peran paradoks, antara ceria dan kemungkinan dirinya untuk putus asa. Penampilan paling menarik dan tidak ada kata membosankan sebenarnya muncul dari sosok perempuan ini. Karakternya juga menjadi bius bagi penonton yang terpicu amarahnya karena melihat tingkah laki-laki yang begitu buta dan tidak peduli sama sekali kepada seseorang yang menaruh hati cukup dalam kepadanya.