Oleh: Mashur Imam*
Frensia.id- Gaji seorang profesor di Indonesia berkisar antara Rp11.900.000 hingga Rp37.900.000, yang mencerminkan posisi intelektual tertinggi dalam sistem pendidikan tinggi. Namun, gaji yang tinggi ini tidak selalu sejalan dengan peran yang diemban oleh para profesor.
Banyak dari mereka justru memilih bersembunyi di balik tembok kampus, menikmati kenyamanan finansial tanpa memberikan kontribusi yang berarti kepada masyarakat luas. Tak bernyali di ruang publik dan mencukupkan perannya sebagai feodalis di kampusnya masing-masing.
Feodalisme Akademik dan Hilangnya Semangat Kolegialitas
Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, melalui artikelnya yang berjudul Desakralisasi Profesor (Kompas, 25 Juli 2023), memunculkan gagasan penting mengenai perlunya mendesakralisasi jabatan profesor. Menurutnya, ada tiga alasan mendasar di balik desakralisasi ini: menumbuhkan semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah, dan meruntuhkan hierarki yang tidak perlu.
Di Indonesia, jabatan profesor telah menjelma menjadi simbol feodalisme baru yang menciptakan hierarki yang merusak ekualitas dalam dunia akademik. Bukan menjadi teladan dalam pencarian ilmu, banyak profesor justru menggunakan gelar mereka sebagai tameng untuk menghindari kritik.
Akibatnya, kampus yang seharusnya menjadi ruang diskusi yang demokratis malah menjadi lingkungan yang penuh dengan ketakutan untuk berbicara. Mereka pun yang bergelar profesor, berenang dalam tunjangan gaji yang melimpah sambil memperkokoh kekuasaannya.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, pernah menekankan pentingnya “kematian profesor” dalam relasi komunikasi dosen-mahasiswa. Hanya dengan menghilangkan superioritas simbolik profesor, dialog yang kritis dan produktif dapat terjadi.
Hal ini relevan di Indonesia, di mana mahasiswa sering kali enggan mengkritik dosen karena terjebak dalam relasi hierarkis yang kaku. Lebih dari itu, banyak profesor yang merasa superior dan menutup diri dari kritik serta dialog terbuka, yang justru merusak esensi dari pencarian ilmu pengetahuan.
Kualitas Intelektual vs. Gelar Formal
Sayangnya, di Indonesia, gelar profesor tidak selalu mencerminkan kualitas intelektual yang tinggi. Banyak yang meraih jabatan ini melalui cara-cara instan dan tidak etis, sehingga muncul istilah “profesor abal-abal.” Fenomena ini merusak integritas dunia akademik dan merugikan masyarakat yang seharusnya mendapat pencerahan dari para intelektual.
Galileo Galilei, seorang ilmuwan yang berani menyatakan kebenaran tentang teori heliosentris, adalah contoh klasik profesor yang tidak takut menyuarakan kebenaran di hadapan otoritas yang menentangnya. Meski dihukum seumur hidup dan meninggal dalam keterasingan, Galileo menunjukkan bahwa seorang intelektual sejati harus berani melawan arus demi kebenaran ilmiah.
Di Indonesia, upaya meraih gelar profesor sering kali dipenuhi dengan praktik plagiarisme, manipulasi data penelitian, dan nepotisme. Hal ini bertolak belakang dengan standar akademik internasional yang menekankan orisinalitas dan kontribusi nyata dalam bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, desakralisasi profesor menjadi penting untuk menghilangkan gelar sebagai simbol status sosial dan mengembalikannya pada esensi keilmuan yang sejati.
Kembalikan Marwah Profesor!
Upaya Fathul Wahid dalam mendesakralisasi profesor bertujuan untuk menumbuhkan kembali semangat kolegialitas dan kesetaraan di kampus. Profesor harus kembali kepada esensi dasar profesinya: meneliti, mengajar, dan melayani masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan solusi yang ditawarkan Supriadi Rustad dalam tulisannya Pemecatan Profesor (Kompas, 28 November 2023), yang menyerukan peninjauan ulang Permendikbudristek No. 38/2021 untuk menjaga marwah perguruan tinggi.
Sebagai akademisi, profesor tidak hanya bertanggung jawab kepada kampus, tetapi juga kepada masyarakat luas. Mereka harus berani tampil di ruang publik, memberikan analisis kritis, dan menjadi suara kebenaran yang melawan ketidakadilan. Inilah makna sejati dari kata “profesor,” yang berasal dari bahasa Latin professus, yang berarti “menyatakan secara terbuka.”
Namun, keberanian untuk menyuarakan kebenaran di ruang publik juga membutuhkan dukungan dari sistem yang sehat. Reformasi sistem akademik yang transparan dan meritokratis perlu dilakukan agar profesor tidak hanya dihormati karena gelarnya, tetapi juga karena kontribusi intelektualnya yang nyata.
Tulisan ini bukanlah upaya untuk merendahkan martabat akademisi, melainkan untuk mengembalikan integritas intelektual yang telah lama tergerus oleh feodalisme akademik. Profesor sejati adalah mereka yang berani menyatakan kebenaran di ruang publik, tidak hanya bersembunyi di balik gelar dan tembok kampus.
Kampus pun diharapkan dapat kembali menjadi ruang yang demokratis, di mana ilmu pengetahuan berkembang melalui dialog yang setara dan kritis terhubung ke masalah masyarakat. Salah satu caranya, membentuk integritas akademik dan menguatkan para profesor di Indonesia untuk kembali menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan sosial.
Penulis : * Founder Kajian Dar Al Falasifah Jember