Oleh: Silfi Ariani*
Frensia.id- “Selamat belajar dengan program baru Deep Learning…” Begitu kalimat di sebuah baliho sekolah yang sempat membuat saya berhenti, membaca, dan berpikir. Sebagai guru dan juga mahasiswa S3 di bidang Teknologi Pendidikan, saya merasa tergelitik: apakah ini kurikulum baru lagi? Apakah kita sedang menyaksikan tradisi lama yang terus berulang—ganti menteri, ganti kurikulum?
Kurikulum: Konsep Dasar yang Terus Diotak-atik
Kurikulum sejatinya bukan sekadar daftar mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dikuasai siswa. Ia adalah rencana pendidikan yang dirancang dengan penuh pertimbangan—menyangkut standar kompetensi, isi, metode, hingga evaluasi pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2002:91), kurikulum mencakup rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki siswa, pengalaman belajar, dan aturan-aturan yang membantu siswa mengembangkan potensinya pada satuan pendidikan tertentu. Dalam konteks internasional, kurikulum berasal dari kata curere yang berarti lintasan perlombaan—sebuah perjalanan belajar dari titik awal hingga pencapaian akhir.
Sayangnya, di Indonesia, kurikulum sering kali menjadi proyek kebijakan yang dibentuk dengan tergesa. Setiap menteri seolah membawa “branding” baru, dengan istilah dan pendekatan yang berbeda, meski esensinya bisa jadi sama. Ini menyebabkan banyak guru merasa terombang-ambing, sibuk menyesuaikan diri dengan dokumen baru daripada fokus memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas.
Deep Learning: Pendekatan, Bukan Kurikulum
Lalu apa sebenarnya deep learning? Ini bukan kurikulum baru seperti yang banyak orang kira. Menurut Abdul Mukti, deep learning adalah pendekatan pembelajaran yang menuntut siswa memahami ilmu secara mendalam—bukan sekadar menghafal, tetapi membangun pemahaman yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Dalam praktiknya, deep learning mengandalkan metode seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), portofolio, presentasi kelompok, serta pemecahan masalah yang mendorong kolaborasi dan kemandirian siswa.
Sebenarnya, pendekatan ini bukan hal baru. Guru-guru sudah lama mengenal dan menerapkan model seperti inquiry learning, problem-based learning, hingga project-based learning. Hanya saja, istilah “deep learning” kini memberi kerangka baru untuk membingkai ulang apa yang selama ini sudah dilakukan. Pendekatan ini berpijak pada tiga prinsip utama: meaningful learning, mindful learning, dan joyful learning. Ketiganya mendorong proses belajar yang relevan, sadar, dan menyenangkan.
Misalnya, dalam pembelajaran Biologi pada topik fermentasi, siswa bisa dilibatkan dalam proyek eksploratif untuk menciptakan produk hasil fermentasi. Dari perencanaan hingga evaluasi, mereka belajar tidak hanya memahami konsep, tapi juga menciptakan sesuatu yang aplikatif dan mungkin kelak bernilai ekonomi. Ini adalah esensi dari pembelajaran bermakna—yang tidak berhenti pada teori, tapi berlanjut hingga praktik dan refleksi
Tantangan Praksis: Pemahaman, Fasilitas, dan Dukungan
Yang menjadi tantangan utama adalah implementasinya. Tidak semua guru memahami konsep deep learning secara utuh, apalagi mampu menerapkannya tanpa dukungan pelatihan yang memadai. Banyak yang masih mengira ini kurikulum baru, padahal ini adalah pendekatan yang harus diintegrasikan ke dalam kurikulum yang ada. Sayangnya, kebijakan pendidikan di tingkat pusat kadang terlalu cepat meluncurkan istilah tanpa memastikan kesiapan di tingkat sekolah.
Sebagian guru memang sudah menerapkan model pembelajaran mendalam, tapi bagi yang belum, diperlukan pelatihan yang terstruktur dan sistematis. Dan pelatihan ini tidak bisa sekadar bersifat formalitas, melainkan harus menyentuh praktik riil di kelas. Sehebat apa pun istilah yang digunakan, jika gurunya belum memahami, maka siswa tidak akan mendapat manfaat maksimal. Sangat disayangkan jika semangat perubahan hanya berhenti pada baliho, tanpa menyentuh ruang kelas.
Menurut Stephens (2023), kurikulum seharusnya mencakup pendekatan pembelajaran dan tujuan yang terencana, bukan hanya isi materi. Sementara Setiawan et al. (2020) menekankan bahwa kurikulum yang baik mampu menghasilkan kepribadian ideal dan bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Maka dari itu, deep learning seharusnya bukan slogan sesaat, tapi bagian dari kurikulum yang dipahami sebagai sistem pembelajaran jangka panjang. Bukan sekadar produk baru yang muncul karena menteri baru.
Maka dari itu, sebelum kita menuntut siswa belajar dengan cara yang lebih dalam, lebih sadar, dan lebih bermakna, mari pastikan dulu gurunya juga belajar dengan cara yang sama. Jangan sampai perubahan hanya berhenti pada nama, tanpa menyentuh makna. Pendidikan tidak butuh istilah baru setiap ganti menteri. Yang dibutuhkan adalah kesinambungan, pendalaman, dan pemahaman yang utuh—dari ruang kebijakan hingga ruang kelas.
Penulis : *Silfi Ariani adalah Mahasiswa S3 Teknologi pendidikan Universitas Negeri Surabaya