Frensia.id- Guru besar yang merupakan sejarawan asal Melbourne University, Australia, Katharine E. McGregor, fokus mendalami sejarah Indonesia. Ia memiliki pemahaman mendalam tentang masa lalu Indonesia, bahkan mencakup aspek-aspek yang mungkin belum diketahui oleh sebagian warga Indonesia sendiri.
McGregor menekuni berbagai isu dalam sejarah Indonesia, termasuk mengenai kekerasan militer dan masa-masa transisi dalam sejarah politik negara tersebut. Bahkan ia juga secara khusus membahas hari kesaktian Pancasila yang sering diperingati hari ini, 1 Oktober.
Artikelnya berjudul, “Commemoration of 1 October, ‘Hari Kesaktian Pancasila’: a Post Mortem Analysis“. Karya yang ditulisnya amenganalisis secara kritis peringatan tahunan *Hari Kesaktian Pancasila* di Indonesia, yang diperingati setiap 1 Oktober. Peringatan ini memiliki keterkaitan dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S), di mana tujuh jenderal Angkatan Darat Indonesia dibunuh dalam kudeta yang gagal pada tahun 1965.
Kelompok yang terlibat diduga berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kemudian menjadi target penumpasan brutal oleh rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Peringatan tersebut kemudian menjadi simbol penting dalam narasi sejarah Indonesia, terutama dalam konteks legitimasi Orde Baru.
McGregor menggarisbawahi bahwa peringatan ini digunakan oleh Soeharto dan rezim Orde Baru sebagai alat untuk membangun narasi yang menggambarkan kudeta sebagai ancaman serius terhadap ideologi Pancasila. Dalam narasi yang dibangun, Pancasila—lima prinsip dasar negara Indonesia—dilihat sebagai kekuatan yang “sakti”, mampu bertahan melawan ancaman besar komunisme yang diyakini bertujuan merusak negara.
Oleh karena itu, *Hari Kesaktian Pancasila* diposisikan sebagai peringatan kemenangan Pancasila dan bangsa Indonesia atas PKI, yang selanjutnya dilegitimasi sebagai dalih untuk penindasan besar-besaran terhadap anggota PKI, simpatisan, serta ribuan orang yang dianggap komunis, termasuk warga sipil biasa. Peringatan ini juga diisi dengan upacara-upacara militer dan retorika yang menekankan patriotisme serta kesetiaan kepada negara dan ideologi Pancasila.
McGregor menyoroti bagaimana rezim Orde Baru memanfaatkan peringatan ini secara simbolis dan politis untuk mengukuhkan kekuasaannya. Peringatan tersebut digunakan sebagai sarana propaganda, di mana Pancasila dijadikan simbol stabilitas dan keamanan nasional yang berhasil melawan kekuatan destruktif komunisme. Melalui kontrol ketat terhadap media dan pendidikan, narasi tentang G30S dan Hari Kesaktian Pancasila diajarkan secara monolitik kepada generasi muda, sehingga menciptakan memori kolektif yang mendukung legitimasi kekuasaan Soeharto.
Namun, pasca-Orde Baru, setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, peringatan Hari Kesaktian Pancasila mulai dipertanyakan kembali dalam konteks sejarah yang lebih luas. Seiring dengan terbukanya wacana mengenai sejarah Indonesia yang selama ini ditekan, diskusi tentang peristiwa 1965 semakin mendapatkan ruang di publik.
McGregor mencatat bahwa masyarakat mulai mempertanyakan narasi tunggal yang selama ini dominan, serta peran Orde Baru dalam mengonstruksi narasi tersebut untuk melegitimasi kekuasaannya dan membungkam suara-suara kritis.
Dalam analisisnya, McGregor menyoroti perubahan dalam cara masyarakat memandang peringatan Hari Kesaktian Pancasila setelah reformasi. Meskipun peringatan ini masih diadakan, makna dan dampaknya telah berubah. Kritik terhadap interpretasi sejarah yang disampaikan oleh Orde Baru menjadi semakin kuat, dan penulisan ulang sejarah yang lebih akurat mulai dilakukan.
Peringatan ini, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai alat untuk memperkokoh ideologi negara, kini dipandang lebih kritis sebagai bagian dari alat politik masa lalu yang berfungsi untuk mengekang kebebasan politik.
Melalui artikelnya, McGregor menunjukkan bahwa Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya peringatan nasionalisme atau perlawanan terhadap komunisme, tetapi juga merupakan cermin dari dinamika kekuasaan dan politik di Indonesia.
Ia mengajak pembaca untuk melihat peringatan ini dalam kerangka yang lebih luas, sebagai bagian dari upaya untuk mengendalikan narasi sejarah demi kepentingan politik tertentu. Dengan demikian, artikel ini menambah wawasan kita tentang bagaimana sejarah dibentuk, dipertahankan, dan diperdebatkan dalam masyarakat yang terus berkembang.