Haji Tingkatkan Kelas Sosial, Namun Tidak Bagi Ebhu Ajjhi Madura

Haji Tingkatkan Kelas Sosial, Namun Tidak Bagi Ebhu Ajjhi Madura
Gambar Haji Tingkatkan Kelas Sosial, Namun Tidak Bagi Ebhu Ajjhi Madura (Sumber Elemen; Freepik)

Frensia.id- Haji oleh beberapa pakar sosial dianggap dapat meningkatkan status atau kelas sosial Muslim di Indonesia. Ternyata argumen ini tidak selamanya benar. Namun, peningkatan kelas hanya dirasakan oleh pelaksana Haji Muslim lelaki. Bagi Muslimah, yang di Madura disebut Ebhu Ajjhi, tidak sama sekali mempengaruhi kelas sosialnya.

Ebhu Ajjhi merupakan istilah umum di Bangkalan, disematkan pada Muslimah yang telah menunaikan ibadah Haji. Nasib mereka dianggap oleh beberapa peneliti tidak sama dengan Muslim laki-laki. Dengan demikian, kelas sosial Muslimah yang telah melaksanakan haji dianggap tidak mengalami peningkatan.

Hal demikian ini sebagaimana diungkapkan dalam penelitian yang berjudul, “Dinamika Modal Sosial dan Peran ‘Ebhu Ajjhi’ (Ibu Haji) dalam Masyarakat Pedesaan di Bangkalan dan Sampang”. Riset ini ditulis oleh Naily Arini Izzati Rohmah dan Medhy Aginta Hidayat.

Bacaan Lainnya

Temuannya diterbitkan dalam bentuk mini riset dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial. Telah dipublikasi pada tahun kemarin, 2023.

Riset kedua akademisi Universitas Trunojoyo Madura tersebut begitu unik, sebab berupaya mengkaji dinamika modal sosial yang dimiliki oleh Ebhu Ajjhi di Madura. Mereka melakukan analisis pada peranya dalam masyarakat, khususnya di daerah pedesaan Bangkalan dan Sampang.

Proses kajiannya, tampak serius dilakukan. Dalam memahami status sosial Ebhu Ajjhi, mereka menggunakan teori modal sosial dari Robert Putnam sebagai kerangka utama.

Dari kajian yang dilakukan, mereka menjelaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji dan gelar haji merupakan modal sosial yang sangat berpengaruh dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Madura. Artinya, mereka sebenarnya juga bersepakat pada beberapa pendapat umum yang menjelaskan gelar haji di Madura tidak hanya meningkatkan status sosial individu, tetapi juga membuka peluang untuk memperluas jaringan sosial dan meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat.

Hanya saja, ternyata temuan penelitian mereka mengungkap bahwa Ebhu Ajjhi (haji perempuan) Madura menghadapi tantangan yang signifikan dibandingkan dengan haji laki-laki (Ajjhi). Pasalnya, pengakuan sosial, peran sosial, ekonomi, dan budaya pada Ebhu Ajjhi sangat terbatas.

Salah satu faktor penyebabnya, hal demikian diakibatkan dari pengaruh budaya patriarki yang kuat. Banyak Ebhu Ajjhi yang tetap terkunci dalam peran domestik, sementara haji laki-laki lebih mudah mendapatkan akses ke peran-peran publik yang lebih berpengaruh.

Berdasarkan pada temuan tersebu, kedua akademisi ini kemudian menyimpulkan bahwa ketidaksetaraan gender dan budaya patriarki merupakan hambatan utama yang menghalangi Ebhu Ajjhi Madura untuk menerima implikasi sosial positif dari tradisi haji di Indonesia. Di akhir penelitiannya, mereka memberikan saran bahwa sangat diperlukan upaya yang sistematis untuk mengatasi ketidaksetaraan ini dan memberdayakan perempuan di pedesaan Madura.

Salah satunya bisa dilakukan melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, dan peningkatan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender. Jadi, dalam pandangannya tidak cukup jadi Ebhu Ajjhi madura dapat mengambil haknya.