Hakim Mogok Kerja Didengar, Kapan Giliran Guru Honorer?

Frensia. id – Gerakan moral ‘hakim mogok kerja’ mendapat perhatian dari negara. Dengan Cepat negara merespon dan menyikapi aksi yang mereka gerakkan, mewujudkan kesejahteraan yang diinginkan sejak lama. Melalui sambungan telepon, Presiden terpilih, Prabowo Subianto, mengatakan setelah dirinya resmi menerima mandat akan memperbaiki gaji dan kesejahteraan hakim setelah belasan tahun jalan ditempat. Mengingat peran penting hakim dalam menjaga sistem peradilan yang adil dan tidak korup.

Namun demikian, ada pertanyaan besar yang harus menjadi perhatian negara, terkait gaji dan kesejahteraan guru honorer? Nasib mereka tampak jauh lebih menyedihkan. Dalam upaya memcerdaskan dan menyiapkan generasi bangsa yang melek pendidikan, para guru honorer adalah ujung tombaknya. Di pelosok negeri, mereka mengajar, kadang dengan fasilitas yang tak memadai serta tidak ada adanya kepastian negara atas kesejahteraannya.

Gaji yang mereka terima seringkali tidak sebanding jauh dengan jasanya yang begitu besar. Banyak guru honorer hanya menerima gaji di bawah UMR, tanpa jaminan kesehatan, alih-alih tunjangan layaknya profesi lain seperti hakim.

Bacaan Lainnya

Beberapa hari ini terdapat fenomena yang menggambarkan mirisnya gaji guru honorer. Jangankan kesejahteraan, gaji yang diterima perbulannya tak cukup beli bensin atau membiayai hidup keluarganya.

Di kota Sukabumi, guru honorer yang dikabarkan sudah puluhan tahun mengajar, setiap usai mengajar guru yang akrab dipanggil pak Alvi menjadi seorang pemulung. Itu terpaksa Ia lalukan demi sambung hidup, sebab gaji gurunya jauh tak mencukupi. Selain itu, tengah viral di Banyuwangi, guru honorer yang memperlihatkan gajinya sebesar 200 ribu perbulannya.

Realitas ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah negara harus menunggu guru honorer melakukan mogok mengajar agar nasib mereka mendapatkan perhatian negara? Layaknya gerakan para hakim mogok kerja setelah belasan tahun gaji dan kesejahteraannya stagnan. Sedangkan kesejahteraan guru honorer lebih dari belasan tahun, negara tak merasa iba sedikitpun.

Kesejahteraan guru honorer seharusnya menjadi agenda prioritas negara, di tangan mereka masa depan generasi bangsa ini ditempa. Sayangnya, selama bertahun-tahun, pemerintah seolah menutup mata terhadap gaji, kesejahteraan dan kesulitan mereka.

Amat kontras antara reaksi negara yang sigap terhadap sikap mogok kerja hakim dan guru honorer. Pasalnya tidak hanya satu kali mereka turun ke jalan dan melakukan aksi mogok mengajar, namun naasnya tak tergupris sama sekali. Buktinya, hingga saat ini gaji dan kesejahteraannya tak kunjung terwujud.

Ada kesenjangan yang terlihat nyata, memang harus diakui hakim tidak bisa pungkiri memiliki peran penting sebagai gadar terdepan menjaga keadilan. Namum jangan lupa posisinya lebih baik dalam hierarki birokrasi. Mereka di gaji negara, tunjangannya tak luput difasilitasi.

Sementara, guru honorer seringkali dipandang sebelah mata, gaji seadanya dan tunjangan kesejahteraanpun bak hilal yang tak kunjung tiba. Padahal pekerjaan dan pengabdiannya untuk negeri ini tidak kalah pentingnya, membangun masyarakat berilmu dan beradab.

Jika pemerintah peduli dan ada niatan serius memperbaiki kualitas sumber daya manusia, mestinya negara tidak lupa meningkatkan kesejahteraan gaji honorer. Perlu disadari, guru honorer persis seperti hakim atau profesi lainnya, mereka juga punya keluarga yang harus mereka hidupi. Mereka sudah mati-matian mencerdaskan generasi bangsa ini, masak negara tidak merasa bersalah membiarkan mereka bekerja sampingan seperti mencari rongsokan.

Seperti hakim, mereka harus dengan sigap diperhatikan dan diprioritaskan. Sebagai guru yang tak henti-hentinya mencerdaskan bangsa, mereka tidak membutuhkan perhatian sesaat, melainkan sebuah kebijakan jangka panjang yang menjamin kelayakan hidup.

Bila hakim sudah mendapat ‘wahyu’ jawaban dari pemerintah dengan pesan yang terkesan istimewa, maka bersamaan itu juga guru honorer seharusnya mendapatkan jawaban yang sama. Aspirasinya dihargai, keluh kesahnya didengar dan kesejahteraannya direalisasikan.

Jika bukan mereka, siapa lagi yang peduli dengan generasi bangsa ini? Tidak mendapatkan gaji dan kesejahteraan saja mereka sudah ikhlas mengabdi? bagaimana jika mereka memperoleh semuanya.

Namun, masih menjadi pertanyaan yang meragukan, kapan giliran guru honorer mendapatkan perhatian serius dari negara? Haruskah, nunggu kiamat kurang dua hari ?*

*Moh. Wasik (Santri Dar Al Falasifah Institut)