Frensia.id- Hari raya Idul Adha lekat dengan tradisi berkorban. Ternyata tradisi ini ada juga dalam agama Kristen. Tidak mengherankan, jika ada pakar penelitian yang berharap kemiripan tersebut dapat menjadi alat rekonsiliasi.
Kronik historis Kristen dan Islam selalu tercatat sebagai konflik yang “kekal”. Sering kali pengikut kedua agama ini terlibat dalam aksi saling membunuh. Bahkan pakar ternama sosiolog agama, Burke pernah menyatakan bahwa para pejuang Kristen dari Eropa datang ke Israel/Palestina dan merebut kembali kota Yerusalem yang sebelumnya dikuasai oleh Khalifah Umar (638) dari pasukan Arab.
Secara historis, para pejuang Kristen yang dikenal sebagai Tentara Salib (The Crusaders) bertindak kejam dengan membantai hampir seluruh penduduk kota, baik Yahudi maupun Muslim. Tindakan brutal ini dan simbol Tentara Salib telah memicu kemarahan di kalangan Muslim.
Akhirnya, di bawah pimpinan Saladin (Salahuddin), pasukan Muslim bertempur dengan para pejuang Kristen, yang berakhir dengan kekalahan Tentara Salib di Galilea (1187).
Sejarah ini hingga sekarang masih meninggalkan luka batin, mengingat fanatisme dan kekejaman yang terjadi dalam perang.
Sejarah tersebut sebenarnya adalah satu dari banyak peristiwa berdarah yang kekal dan menjadi gairah konflik agama terjadi hingga saat ini. Motifnya memang tidak selalu tentang ketegangan klaim kebenaran dan keselamatan religius, diindikasikan juga masuk kepentingan ekonomi dan politik juga menambahkan nuansa kelam dalam sejarah hubungan Islam dan Kristen.
Bedasar pada kekhawatiran demikian, Christian Siregar, berupaya menjabarkan kesamaan tradisi menarik dari dua agama tersebut. Tradisi yang dimaksud tentu adalah budaya berkorban di Hari raya “Idul Adha dan tradisi “perjamuan agung”.
Temuan penelitian akademisi Character Building Development Center (CBDC), BINUS University ini telah terbit dalam bentuk jurnal. Semua dapat dibaca dalam Journal Binus Humaniora pada tahun 2014.
Christian Siregar menganggap bahwa perayaan hari raya korban Umat Islam memiliki semangat rekonsiliasi. Hal demikian sangat terlihat dalam tindakan mendistribusikan sejumlah daging hewan yang telah disembelih kepada orang lain, terutama kaum kurang mampu, tanpa diskriminasi.
Ajaran ini merupakan usaha untuk menciptakan harmoni antara orang kaya dan orang miskin yang dipisahkan oleh jurang ketidaksetaraan sosial. Selama tiga hari, pemberi diingatkan bahwa ada hak penerima dalam sebagian dari hartanya.
Begitupun tradisi Perjamuan Suci dalam agama Kristen. Dalam pandangan yang diingat pada upacara perjamuan suci oleh para jemaat adalah Yesus dan tindakan penyelamatan yang telah dilakukan-Nya di masa lampau. Pengorbanan Isa al Masih di salib bertujuan untuk menghapus dosa-dosa manusia.
Setelah kejadian besar itu, hubungan antara Tuhan dan manusia dipulihkan. Meskipun terjadi di masa lampau, kematian Yesus hadir di masa sekarang melalui ingatan jemaat dan berdampak pada masa depan. Jemaat menantikan kedatangan parousia dengan harapan tidak lagi “melihat melalui cermin yang buram”.
Kesamaan antara ritual pengorbanan dalam Islam dan Kristen adalah sama menekankan pentingnya tindakan mengingat. Dalam ibadah kurban, umat Islam dan Kristen sama dibentuk untuk mengenang peristiwa pengorbanan Ismail di masa lalu.
Melalui kenangan tersebut, mereka diajarkan bahwa kepatuhan kepada Allah tidak boleh mengorbankan sesama manusia. Dengan demikian, hubungan vertikal dengan Tuhan terjalin tanpa melupakan hubungan horizontal dengan sesama.
Melalui perjamuan suci, umat Kristen diajak untuk mengenang kematian Kristus di salib yang mendamaikan Allah dan manusia. Ritual komunal ini mengharuskan umat yang berpartisipasi untuk hidup damai dengan sesamanya. Umat Kristen tidak perlu lagi melihat Idul Adha dan pelaksanaan ibadah kurban sebagai pemborosan dan tidak berdampak etis karena tradisi sama saja.
Bagi Christian Siregar, umat Kristen dapat berpartisipasi bersama umat Islam dalam perayaan ini dengan berbagai cara yang positif karena tujuannya adalah keadilan sosial; mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Begitu pun, umat Islam juga dapat berpartisipasi dalam perjamuan suci hingga batas yang diperbolehkan oleh agama mereka tanpa kehilangan pemahaman akan semangat rekonsiliasi yang diajarkan dalam ritual tersebut.
Dalam penutup temuan risetnya, ia dengan sangat berani dan berharap bahwa rekonsiliasi antara Kristen dan Islam tidak hanya sebatas impian. Tampaknya sebagai peneliti, ia berharap tidak sendirian dalam menginginkan masa depan Indonesia yang cerah.