Mengapa benda-benda para tokoh dan pahlawan selalu dimuseumkan? Peci Gus Dur, kopyah Soekarno, atau hanya sekedar helm militer bolong sisa koloni masih dilestarikan bahkan diburu dalam setiap pelelangan?
Ya! Beberapa orang meyakini setiap benda memiliki energi dan sejarahnya sendiri. Maka tak heran jika sampai saat ini banyak museum yang penuh nuansa kesakralan, menyimpan segala catatan sejak lahirnya Adam hingga runtuhnya Mataram.
Itulah alasan mengapa jaket Harrington warisan paman satu ini tetap aku rawat sebaik mungkin.
Meskipun hari ini model jaket Harrington sudah banyak diproduksi oleh brand-brand lokal, namun bagiku ia tak lagi melekat dengan nilai sejarahnya.
Harrington bernilai karena ia dirancang oleh Isaac Miller dan Jhon Miller sejak tahun 1937 di Inggris. Mereka berdua adalah pendiri brand Baracuta dari salah satu distrik di Kota Stockport, Manchester.
Sebelum paman wafat, aku tak pernah kepikiran untuk bertanya darimana ia mendapatkan jaket ini, yang aku tahu hanyalah bandrol yang melekat di leher bagian dalam, bertuliskan label Baracuta dan tahun produksinya, yakni pada 1938, satu tahun setelah model jaket ini pertama ditemukan.
Jaket berbahan katun ini sudah hampir berusia satu abad, ia dibuat dengan teknik tenun plain weave khas Baracuta kala itu. Bagian luarnya juga telah melalui proses brushed alias penyikatan, sehingga teksturnya nampak rapi dan lembut. Furingnya pun berbahan katun flanel yang tebal dan sedikit berbulu, saat dipakai begitu menghangatkan dan nyaman.
Tampilan harrington yang eksklusif ini juga menjadi simbol kesetaraan bagi semua kalangan masyarakat di Inggris kala itu. Tak jarang para pejabat, aparat militer, polisi, bahkan para buruh pabrik pun mengenakannya, sehingga ia lebih dikenal sebagai “work jacket”, yang mengemaban spirit kerja keras tanpa mengeluh.
Sudah jelas bukan..? mengapa harrington garapan Baracuta ini selalu menjadi incaran pada saat pelelangan ataupun saat berburu ke Thrift Shop.
Aku pribadi sampai detik ini begitu menyayanginya. Butuh alasan yang kuat mengapa aku harus menjualnya. (*)