Frensia.id – Pernikahan/perkawinan bagi manusia merupakan salah satu momen terspesial dalam perjalanan hidupnya. Tak jarang disebut sebagai lembaran hidup yang baru, itu terlihat dalam ungkapan, doa yang tertera dalam dekorasi banner pernikahan “Selamat menempuh hidup baru”. Ucapan ini seperti aba-aba di garis start, tapi bukan lari maraton, melainkan perjalanan panjang bersama ‘orang baru’ dengan segala romantika dan tanggungjawab yang baru pula.
Memasuki pintu pernikahan bersama orang baru – terlebih saling mencintai—seperti mengetuk pintu kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah dijumpai. Tidak bisa diungkapkan dengan huruf dan angka seperti angka deret pada soal SKD CPNS, bahagia tiada tara. Namun, siapa sangka, angka pernikahan Indonesia mengejutkan, bukan karena meningkat, justru semakin menurun.
Berdasarkan data dari badan pusat statistik (BPS) 2024 angka pernikahan di Indonesia semakin mengalami penurunan. Tahun 2023, jumlah pernikahan di Indonesia sebanyak 1.577.255, dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2022), angka perkawinan ini mengalami penurunan sebanyak 128.000. Sementara dalam satu dekade terkahir angka pernikahan menurun sebanyak 28,63 persen.
Pemicu turunnya angka pernikahan diungkap oleh Prof. Dr. Bagong Suyanto, Guru besar dari Universitas Arilangga (UNAIR) Surabaya, seperti dilansir dari lama resmi UNAIR, ia menjelaskan penurunan tersebut di picu oleh semakin lebarnya akses bagi perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya. Sehingga perempuan menjadi pribadi yang lebih mandiri, istilah akrabnya ‘Independen Woman’.
“Angka itu turun karena kesempatan perempuan untuk sekolah dan bekerja semakin terbuka lebar. Di samping itu ketergantungan perempuan juga menurun” ungkapnya
Prof. Bagong juga mengungkapkan faktor lain yang turut berkontribusi terhadap penurunan angka pernikahan adalah akumulasi ‘laki-laki mapan’. Sebuah keadaan ekonomi yang belum mapan karena sulitnya sebuah pekerjaan.
Namun demikian, menurut Guru besar Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik ini keberadaan fenomena semacam ini bukanlah ancaman yang perlu dikhawatirkan. Justru, perubahan ini merupakan bagian dari dinamika sosial yang terjadi secara alami. Lebih jauh dari itu, penurunan pernikahan harus dipastikan berdampak positif untuk memperdayakan perempuan dan masyarakat.
Bagaimanapun juga, fenomena berkurangnya perkawinan sebagai konsekuensi logis dari independensi perempuan tidak bisa dianggap sebagai suatu yang wajar dan bisa-biasa saja. Terutama menempatkan kemandirian secara berlebihan, ada beberapa potensi dampak negatif yang mungkin perlu di waspadai.
Bukan ingin membatasi perempuan berkarier, berkiprah seluas-luasnya dan mandiri dalam finansial. Hanya saja berlebihan sangat mungkin menimbulkan keinginan untuk tidak membangun komitmen jangka panjang, seperti pernikahan. Bukan suatu yang mustahil kemandirian yang berlebihan dapat membuat perempuan enggan menerima pernikahan sebagai sesuatu yang penting dalam hidup.
Relasi sosial mengalami krisis bahkan tidak dibutuhkan lagi. Padahal pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial, khususnya laki-laki dan perempuan memang oleh Tuhan dicipta untuk berpasang-pasangan. Penting refleksikan independen women ini perlu diimbangi dengan nilai-nilai sosial dan emosional yang sehat. Karena pada akhirnya, kebagian tidak saja soal mampu hidup sendiri, melainkan tentang berbagi dan saling melengkapi.