Frensia.id- Isi cerita pendek di Indonesia banyak memakai anggapan-anggapan tentang mitos kecantikan tubuh perempuan. Hal ini banyak diteliti oleh akademisi.
Salah satunya adalah pnelitian yang dilakukan oleh Suarni Syam Saguni dan Baharman. Hasilnya risetnya telah terbit tahun 2016 di RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya.
Keduanya mengeksplorasi narasi mengenai mitos kecantikan yang secara mendalam memengaruhi persepsi perempuan terhadap tubuh mereka sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum perempuan sering kali dihadapkan pada berbagai mitos yang mendefinisikan kecantikan.
Mitos ini tidak hanya membentuk persepsi diri, tetapi juga memperkuat standar kecantikan yang cenderung menjerumuskan perempuan dalam pemujaan yang tak berkesudahan terhadap fisik yang dianggap ideal.
Keduanya berusaha mendeskripsikan bentuk-bentuk narasi terkait mitos kecantikan dan bagaimana tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia mutakhir menanggapi mitos tersebut, baik dengan penerimaan maupun perlawanan.
Teori yang mereka pakai untuk melakukan analasis adalah gagasan mitologi Roland Barthes dan pendekatan feminisme. Sebagaimana diketahui bersama, Barthes, melalui konsepnya tentang mitos, menekankan bahwa makna yang dianggap alamiah oleh masyarakat sesungguhnya adalah konstruksi sosial yang sarat akan ideologi.
Melalui asumsi ini, mitos kecantikan dalam riset mereka, dianggap sebagai hasil rekayasa budaya yang memiliki kekuatan menekan perempuan dalam perannya sebagai objek.
Keduanya, mengumpulkan dan mengkaji cerpen Indonesia kontemporer. Mereka berupaya mendapatan pemahaman secara kualitatif tentang bagaimana narasi kecantikan dibangun dan diinternalisasi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat beberapa elemen umum yang terus-menerus disosialisasikan terkait kecantikan. Kecantikan, dalam mitos ini, diidentifikasikan dengan kesempurnaan fisik: wajah yang simetris, tubuh langsing, kulit putih, penampilan modis, dan luwes dalam berperilaku.
Konstruksi ini menuntut perempuan untuk menyesuaikan diri dengan standar yang sulit dicapai, sehingga menjadikan kecantikan sebagai bentuk penindasan baru. Dalam konteks masyarakat yang mengedepankan standar kecantikan fisik, perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi yang rentan.
Mereka menjadi objek yang nilainya ditentukan oleh bagaimana masyarakat memandang kecantikan. Kecantikan bukan lagi sekadar atribut individual, tetapi suatu bentuk kuasa yang dimiliki oleh masyarakat untuk mendikte peran dan posisi perempuan.
Hal ini menciptakan ketidaksetaraan, di mana perempuan merasa terdorong untuk memenuhi ekspektasi yang sebenarnya dibentuk oleh ideologi patriarki yang menuntut kesempurnaan fisik.
Dalam relasi makna ini, perempuan kerap menjadi objek yang terpinggirkan karena makna diri mereka ditentukan oleh pihak eksternal. Konstruksi sosial yang membentuk standar kecantikan ini kemudian diinternalisasi dalam kesadaran perempuan.
Mereka, tanpa sadar, menjadikan standar tersebut sebagai acuan dalam memaknai tubuh dan peran mereka di masyarakat.
Dengan demikian, mitos kecantikan menjadi instrumen kontrol yang efektif dalam membatasi kebebasan perempuan untuk mengekspresikan dirinya secara autentik.
Penelitian ini menegaskan bahwa narasi kecantikan yang dominan dalam budaya populer tidak hanya mereduksi perempuan menjadi objek fisik, tetapi juga mengekang mereka dalam batasan-batasan sosial yang kaku.
Melalui karya sastra, perlawanan terhadap mitos kecantikan ini dapat diungkapkan, menciptakan ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan kecantikan mereka sendiri di luar batasan yang ditetapkan oleh masyarakat.