Frensia.id – Jika Kartini hanya memikirkan dirinya sendiri, mungkin ia akan memilih diam. Menjadi putri bangsawan, hidup dalam pagar adat, menunggu jodoh, dan menjalani hidup sebagaimana mestinya perempuan pada masanya. Tetapi Kartini justru berjalan ke arah sebaliknya. Ia menulis, bukan untuk mencatat penderitaan pribadi, tetapi untuk menggugat kemapanan dan menyapa mereka yang tak bersuara.
Dalam salah satu suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, bertanggal 20 Mei 1899, ia berkata:
“Saya sangat beringin hendak berkenalan dengan seorang gadis kaum muda, anak gadis yang cakap dan sanggup tegak sendiri… suka mengorbankan diri akan guna keperluan dan keselamatan orang banyak juga.”
Kalimat ini bukan hanya pencarian sahabat sejati, tetapi cerminan dari cita-cita kemanusiaan yang telah tumbuh dalam diri seorang perempuan muda yang baru saja merasakan getirnya dikurung oleh adat.
Surat-surat Kartini menyimpan kedalaman ganda. Di satu sisi, ia adalah teks sosial tentang perempuan Jawa, feodalisme, dan kolonialisme. Tapi di sisi lain, surat-surat itu adalah refleksi awal tentang ‘humanisme Indonesia’—yakni semangat membela kaum kecil, menolak ketimpangan, dan mengubah empati menjadi ide.
Kartini bukan hanya ingin kaum perempuan mendapatkan pendidikan. Ia ingin pendidikan menjadi sarana pembebasan bagi seluruh rakyat. Ia melihat penderitaan sebagai sesuatu yang harus dihadapi, bukan sekadar disesali. Dalam suratnya yang lain, tertanggal 6 November 1899, ia mengecam keras praktik candu yang dilegalkan pemerintah kolonial:
“Tjandoe… betapa besar kecelakaan yang dibawa oleh benda jang djahat itoe kepada negeri saya, kepada bangsa saya, tak dapatlah dikatakan… Tjandoe penjakit pest jang seganas-ganasnya di tanah Djawa.”
Bahasa Kartini tajam dan penuh kemarahan, namun tetap dalam koridor kelembutan. Ia menulis bukan karena benci, tapi karena peduli. Ia bicara soal perempuan, tapi juga bicara tentang kemiskinan, keterbelakangan, ketimpangan sosial, dan kekuasaan yang tidak berpihak.
Kartini bukan aktivis dalam arti modern. Ia tidak turun ke jalan. Ia tidak membuat organisasi. Tapi surat-suratnya adalah aksi. Gagasan-gagasannya adalah keberpihakan. Kartini tidak pernah menyebut dirinya “pembela kaum lemah,” tapi setiap kalimatnya mengarah ke sana. Ia menolak menjadi sekadar simbol—ia ingin menjadi jalan terang bagi mereka yang terkurung, terbelakang, dan tertindas.
Kini, saat bangsa ini telah memiliki sekolah di hampir setiap desa, kita tetap harus bertanya: sudahkah terang Kartini sampai ke kaum kecil? Sudahkah anak-anak perempuan di pelosok bebas dari kawin paksa, bebas dari putus sekolah karena kemiskinan, bebas dari adat yang mematikan daya hidup?
Kartini wafat muda, pada usia 25 tahun. Tapi warisannya abadi. Ia mewariskan semangat untuk memperjuangkan mereka yang tak punya daya. Ia telah meletakkan dasar bagi solidaritas sosial yang berbasis cinta kasih dan keadilan. Ia tidak hanya mengajari kita untuk menuntut hak, tapi juga untuk memperhatikan nasib sesama.
Dalam zaman yang sibuk mengejar prestasi dan pertumbuhan, suara Kartini yang lirih itu tetap perlu kita dengar: bahwa kemajuan tanpa empati hanyalah ilusi. Dan bahwa cahaya sejati adalah yang menerangi jalan mereka yang terpaksa berjalan dalam gelap.
Kartini bukan hanya lentera bagi perempuan. Ia adalah lentera kaum kecil—dan kita, yang merasa tercerahkan olehnya, punya kewajiban menjaga nyala itu tetap hidup.*