Frensia.id- Dalam sebuah buku yang berjudul Banjir Jakarta (2013), Zainuddin HM membawa pembaca menelusuri sejarah panjang ibu kota yang tak pernah lepas dari bayang-bayang air bah.
Lewat gaya penulisan yang tajam dan kaya akan fakta, Zainuddin, seorang jurnalis senior dari Rakyat Merdeka Group, menyusun narasi memikat tentang perjuangan Jakarta melawan banjir yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kota ini.
Mulai dari era Raja Purnawarman, saat air menjadi anugerah sekaligus ancaman, hingga masa pemerintahan Jokowi sebagai gubernur yang bergelut langsung dengan persoalan banjir, buku ini menjadi dokumentasi monumental tentang peristiwa yang selalu menguji daya tahan warganya.
Buku ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cermin kolektif untuk memahami bagaimana banjir di Jakarta telah membentuk, menghancurkan, dan menguatkan semangat penduduknya. Zainuddin HM menampilkan kronologi banjir dari masa ke masa, lengkap dengan foto-foto yang menuturkan kisah pilu sekaligus heroik tentang bertahannya sebuah kota yang terancam tenggelam.
Foto-foto ini tak hanya merekam bencana, tetapi juga menghidupkan kembali perjuangan masyarakat dalam menghadapi air yang meluap dari sungai, kanal, hingga hujan deras yang tak berkesudahan.
Sebagai jurnalis yang telah menulis banyak buku, seperti How to Be a Writer dan Trilogi Jakarta, Zainuddin membawa pengalamannya dalam menyampaikan cerita dengan kedalaman riset yang luar biasa. Dalam Banjir Jakarta, ia tidak hanya menyoroti kejadian-kejadian besar, tetapi juga menggali pertanyaan mendasar tentang apa yang telah dilakukan, apa yang terlewatkan, dan apa yang seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak.
Mengapa banjir di Jakarta terus berulang meski sudah ada berbagai rencana besar seperti Master Plan 1973? Apa yang melatarbelakangi keputusan untuk membangun Bendung Katulampa? Dan bagaimana aksi langsung Jokowi pada tahun 2013 memberikan harapan baru, meskipun solusi jangka panjang tetap menjadi misteri?
Zainuddin menggambarkan banjir tidak hanya sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai cerminan hubungan manusia dengan lingkungannya. Dari banjir besar yang terjadi pada 1621 hingga tahun-tahun penuh intrik politik dan pembangunan yang tak jarang abai terhadap keberlanjutan, pembaca diajak untuk merenungkan bagaimana sejarah terus berulang.
Perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali menjadi isu yang menghantui tiap lembar buku ini.
Namun, Banjir Jakarta tidak berhenti pada narasi penuh keluh kesah. Buku ini mengandung semangat untuk menginspirasi perubahan. Zainuddin seolah ingin menggugah para praktisi, sejarawan, dan siapa saja yang tertarik dengan masa lalu untuk tidak hanya mengingat, tetapi juga bertindak.
Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia internasional dalam menghadapi tantangan ini. Banjir bukan sekadar bencana alam, melainkan peringatan untuk selalu waspada dan menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Membaca Banjir Jakarta adalah seperti membuka jendela yang menghadap ke perjalanan panjang kota Jakarta. Pembaca akan menemukan diri mereka merenungkan tragedi dan harapan yang ada di setiap musim hujan.
Banjir di masa lalu adalah pelajaran bagi masa depan, dan buku ini adalah panduan untuk memahami bahwa setiap tindakan kecil bisa menjadi bagian dari solusi.
Bagi mereka yang mencintai sejarah atau merasa memiliki tanggung jawab terhadap kota yang dihuni oleh lebih dari sepuluh juta jiwa ini, buku ini adalah bacaan wajib.
Dengan bahasanya yang lugas, detail faktual yang kuat, dan emosi yang terasa di setiap halamannya, Banjir Jakarta adalah pengingat bahwa air tidak hanya membasahi, tetapi juga meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam kehidupan manusia.
Di tangan Zainuddin HM, kisah banjir Jakarta menjadi lebih dari sekadar cerita; ia adalah panggilan untuk bertindak.