Frensia.id- Kata-kata Gus Dur sepertinya cocok untuk melihat situasi Kiai-kiai Nahdlatul Ulama’ (NU) saat ini. Pasalnya, beberapa waktu belakangan, banyak Kiai yang cukup santer saling berdebat dan berbeda pendapat. Bahkan tidak jarang menimbulkan emosi masing-masing jema’ahnya.
Beberapa informasi baru-baru ini, banyak kiai di Kampung yang berbeda pendapat soal sosok pemimpin politik, sanad keturunan, hingga konsesi tambang. Semuanya menimbulkan kontroversi.
Ternyata perdebatan yang demikian ini, telah lama ditulis oleh KH Abdurrahman Wahid alis Gus Dur di beberapa kolomnya. Pada tahun 1981, Gus Dur pernah menulis artikel berjudul “Bila Kiai Berdebat”.
Membaca artikel ini, akan menemukan kisah sederhana dan cara bijak melihat perbedaan pendapatan antara para Kiai. Gus Dur mengungkap perdebatan para kiai memang telah terjadi sejak dulu, baginya dilakukan dengan nalar-nalar yang aneh-aneh.
Anggapan Gus Dur pada perdebatan Kiai semacam itu, tidak lebih dari proses konformistis antar mereka dan proses pengabdiannya di masyarakat yang total. Tidak mengherankan, jika proses perdebatannya sangat aneh, utamanya dalam argumentasinya.
Ada kiai yang hobi mencari argumentasi sekuat tenaga, hanya untuk melahirkan pendapat yang paling aneh. Apalagi perdebatan terjadi, di luar dinamika hukum agama.
Kata Gus Dur, perdebatan para Kiai sering hanya soal terminologi. Jadi hanya tampak seperti dalil skolastik kuno yang hanya mencari konsep harfiah dari sebuah peristiwa.
Sering juga alasannya, oleh Gus Dur dipandang murahan. Salah satunya, seperti yang terjadi pada perdebatan almarhum Kiai Wahab Chasbullah dengan almarhum Kiai Abdul Jalil Kudus kala pembahasan validitas DPR-GR dari sudut hukum agama.
“Kitab yang sampeyan gunakan kan cuma cetakan Kudus. Kalau kitab yang menunjang pendapat saya ini cetakan luar negeri!”, tulis Gus Dur menukil ucapan Kiai Wahab.
Selain contoh tersebut, Gus Dur juga mengisahkan tentang perdebatan sholat Jum’at yang pernah terjadi di Jember. Diceritakan bahwa di daerah ini pernah terjadi perdebatan serius antar Kiai tentang permintaan guru guru SMP untuk melaksanakan sholat Jum’at secara terpisah dari masjid Jami’ yang berdekatan.
Menanggapi masalah itu, para Kiai ribut berdebat soal definisi balad. Apakah artinya kampung, dusun, padukuhan atau kelurahan?
Kiai Rahmat diceritakan memperbolehkan dengan alasan wilayah administrasi Masjid Jami’ dan SMP berbeda kampung. Jadi, sudah lain Balad.
Tulisan Gus Dur ini telah memberi gambaran bahwa memang telah sejak awal Kiai suka berdebat. Baginya, hal tersebut juga memberi dampak positif pada perkembangan konformistis agama Islam hingga saat ini.