Frensia.Id – Ibadah dalam kacamata agama dimaknai sebagai kewajiban, ketaatan dan kepatuhan kepada Allah swt.
Sementara sebagai mahluk sosial yang setiap hari berinteraksi dengan masyarakat, ibadah tidak dipandang sekedar kewajiban, melainkan status yang sosial yang lebih tinggi.
Dalam kajian Sosiologi, Selo Sumardjan dan Soelaiman Sumardi dalan Setangkai Bunga Sosiologi mengungkapkan bahwa, setiap masyarakat punya sesuatu yang dihargai dan itu yang membuat adanya sistem yang hierarkis.
Terdapat dua sistem sosial dalam masyarakat: pertama, achieved status yakni status yang bisa diperoleh oleh setiap orang dengan usahanya. Kedua, ascribed status yakni status sosial yang hanya didapat karena kelairan.
Menurut dua pakar dan Sosiolog berkebangsaan Indonesia tersebut seperti dikutip M. Zainuddin, haji masuk pada kategori yang pertama, yang bisa dimiliki bagi setiap orang untuk memperolehnya.
Melalui penelitiannya Studi Tentang Simbol Agama di Kalangan Masyarakat Muslim M. Zainuddin menyebutkan bahwa, Fenomena haji dalam teori sosiologi ini, sepanjang suatu masyarakat memandang pelaksanaan ibadah haji sebagai sesuatu yang berharga dan istimewa, sepanjang itu pula masyarakat akan menempatkan para haji berada pada lapisan yang relatif lebih tinggi.
Di Kab. Malang, Jawa Timur, ibadah haji dikalangan masyarakat petani santri Gondanglegi dipandang ibadah yang istimewa dan memiliki magnet yang luar biasa.
Bahkan meski jadi sopir dan tidak sekolah tidak jadi masalah asal mereka sudah melaksanakan haji. Mereka berkeyakinan uang yang dipakai haji tidak aka berkurang.
Pada masyarakat pedagang Betawi, haji bisa menempatkan status sosial sejajar dengan elit agama seperti kiai dan ulama. Gelar “haji” juga mampu memberikan legitimasi “logika keagamaan” untuk memiliki istri lebih dari Satu.
Ia berkesimpulan bahwa, secara normatif, haji memiliki pesan dan makna-makna ajaran sosial yang tinggi, seperti menjauhkan skat orang kaya dan miskin serta meniadakan perbedaan stau sosial (the difference of social status).
Masyarakat Muslim jawa – maupun di luar jawa – ibadah haji sarat dengan simbol dan status, baik status sosial ataupun status legitimasi kekuasaan. Rukun Islam yang ke lima ini dipahami sebagai sebuah simbol keagamaan sebagai justifikasi sosial daripada sebagai ibadah.
Padahal haji, sebuah ibadah yang memilki aspek humanitas atua kemanusiaan seperti egaliter, toleran, ukhuwah, persatuan dan kesatuan, tanggungjawab, santun dan sabar sebagaimana yang tercermin dalam pelaksanaan ihram, tawaf, sa’i, wukuf, dan seterusnya.
Ibadah haji dikalangan masyarakat muslim dipahami sebagai achieved status, sebuah ibadah yang dicapai dengan usaha kerasnya.
Fenomena haji yang demikian dimana masyarakat masih memandang sebagai ibadah yang berharga dan istimewa, tidak tertutup kemungkinan sepanjang itu pula masyarakat akan menempatkan para haji berada pada lapisan yang relatif lebih tinggi. (*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Dar al-Falasifah)