Frensia.id – Haji Mabrur selalu menjadi perbincangan, doa dan harapan setiap musim haji khususnya mereka yang sedang menjalani rukun Islam yang kelima ini.
Ketua Lembaga Dakwah Nadhlatul Ulama (LDNU) Pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab sapaan akrabnya dalam Khutbah Jum’at menyampaikan soal Haji Mabrur dan Implikasinya bagi Sosial.
Khutbah tersebut disampaikan di Masjid Jami’ Al Baitul Amien Jember, Jumat, 21 Juni 2024, kemaren siang. Ketua LDNU PBNU tersebut menyampaikan indikator haji mabrur dan implikasinya pada tatanan sosial dan perbaikan akhlak ummat. Gus Aab juga menyampaikan makna simbolik dibalik manasik haji sebagai spirit untuk mewujudkan haji mabrur.
Menurut Gus Aab semangat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji luar biasa. Sehingga jumlah pendaftar setiap tahun lebih dari tiga kali lipat dari jumlah Kouta yang diberikan kepada bangsa Indonesia oleh al mamlakah al-saudiah al-arabiah.
Seharusnya semakin banyak orang yang selesai melaksanakan ibadah haji, jika pulang ke tanah air semakin memiliki implikasi yang luar biasa terhadap tatanan sosial dan perbaikan akhlak ummat. Hal tersebut akan tercapai jika jamaah haji dari Indonesia mendapatkan haji mabrur.
Tekait istimewa haji Mabrur, Ketua LDNU PBNU tersebut mengutip sebuah hadis bahwa Rasulullah bersabda Haji mabrur tidak ada balasan yang pantas kecuali sorga. Para sahabat bertanya wa maa birruhu ya Rasulullah dalam riwayat yang lain disebutkan wa maa alamtu birrihi ya rasulullah artinya apa tanda-tanda haji mabrur ini ya rasulullah? Rasulullah menjawab thayyibul kalam wa ith’amut tha’am wa ifsya’us salam.
Pertama, Thayyibul kalam. Menurut Gus Aab Thayyibul kalam adalah apa yang diucapkan adalah perkataan yang baik. Ini mewakili bahwa segala sesuatu yang keluar darinya adalah sesuatu yang baik, tidak hanya ucapan tetapi perbuatan.
Jika ia adalah seorang pengambil keputusan, maka keputusan yang diambil selalu membawa kebaikan. Thayyibul kalam merupakan sesuatu yang berasal darinya, yang keluar darinya tidak lain kecuali berimplikasi pada kebaikan tatanan keummatan.
Kedua, Ith’amut tha’am (memberi makan) namun bagi Gus Aab pemaknaannya tidak hanya sekedar itu. Tetapi jauh lebih dari itu maknanya adalah kepedulian sosial, keprihatinan yang dialami oleh orang lain. Ada langkah-langkah kongkret yang dilakukan untuk melakukan perbaikan terhadap tatanan kehidupan keummatan.
Ketiga, ifsya’us salam atau menebarkan kedamaian. Dimana ketika manusia berada, ketentraman yang dirasakan orang-orang yang ada disekitarnya. Setiap ia datang ke suatu tempat ada kedamaian, kebahagiaan dan kesejukan yang dialami, ketika tidak ada ia begitu dirindukan.
Sehingga seharusnya semakin banyak orang yang pulang haji maka akan berpengaruh terhadap perbaikan akhlak bangsa karena berimplikasi pada bagusnya moral, eloknya sikap dan tindakan serta penyebaran kedamaian dan ketentraman bagi masyarakat sekitarnya.
Namun dalam keseharian belum ada tanda-tanda yang signifikan terjadi perubahan akhlak yang baik dalam tatana kehidupan masyarakat. Lebih ironisnya, bukan hanya ditengah-tengah masyarakat dan komunitas dimana seoang yang baru pulang haji itu tinggal, tetapi terkadang gagal melakukan perbaikan pada kehidupan diri sendiri.
Pesan diatas penting diperhatikan sebab memperoleh haji mabrur bukanlah hal yang mudah. Boleh jadi hajinya makbul hanya memenuhi syarat dan rukunnya haji, namun belum tentu mabrur. Kemabruran haji menurut Prof. DR. KH. Nasaruddin Umar diukur setelah pulang dari tanah suci.
Seberapa bagus dampak haji tersebut pada kehidupannya ketika ke tanah air? bisa dilihat dari tiga indikator sebagaimana uraian Ketua LDNU PBNU, Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab diatas. Semoga semuanya mabrur (*)