Frensia.id – Hingga saat ini mungkin masih ada yang mengira atau bahkan masih menjadi konsumsi pengetahuan publik bahwa zuhud merupakan sikap anti kondisi menjauhi atribusi duniawi, harta, jabatan dan kekuasaan. Ini anggapan kurang tepat yang sudah menjamur dikalangan masyarakat.
Imam Al-Ghazali misalnya, ulama yang bergelar hujjatul Islam ini mengurai dalam masterpiecenya ihya Ulumuddin juz IV hal 252 menegaskan
اعلم أنه قد يظن أن تارك المال زاهد وليس كذلك
“Ketahuilah, banyak orang mengira, orang yang meninggalkan harta duniawi adalah orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 252).
Lebih tegas lagi penjelasan mengenai Zuhud yang tidak harus kontra Harta dan kekuasaan dijelaskan oleh KH. Achmad Siddiq Jember, baginya Zuhud memang memiliki arti terlepasnya ketergantungan hati/batin dengan harta benda, kekuasaan dan kesenangan yang dimilikinya apalagi Milik orang lain. Tetapi bukan berarti tidak memiliki harta dan kekuasaan, yang perlu di undarline disini menurutnya tidak tergantung bukan berarti tidak memiliki berbeda dengan tidak punya.
Berikut tulisan KH. Achmad Siddiq tentang Zuhud :
“Az- Zuhdu yang berarti terlepas dari ketergantungan hati/bathin dengan harta benda, kekuasaan, kesenangan dan sebagainya yang ada di tangannya sendiri, apalagi yang ada di tangan orang lain. Tidak tergantung, berbeda dengan tidak memiliki, berbeda dengan tidak punya. Seorang Zahid, bisa saja dia kaya harta benda, punya kekuasaan, punya hal-hal yang menyenangkan. Tetapi hatinya, jiwanya, batinnya tidak tergantung, tidak terkait dengan segalanya.
Kapan saja semuanya datang, diterima secara wajar, dengan bersyukur dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, tetapi sama sekali tidak menyebabkan sang Zahid merasa menjadi lebih besar, lebih hebat, sombong dan sebagainya. Kapan saja, semuanya pergi, hilang, maka sedikitnya sang Zahid tidak menyesalinya, tidak menjadi penasaran, tidak merasa lebih kecil, lebih hina dan sebagainya.” (Pemikiran KH. Achmad Siddiq, Duta aksara, hal. 22)
Ada dua penekanan dalam uraian tersebut, titik tekan pertama adalah Seorang Zahid, bisa saja dia kaya harta benda, punya kekuasaan, punya hal-hal yang menyenangkan. Diksi “bisa saja” yang dipilih yang mafhum di panggil Mbah Achmad Siddiq itu memberikan kesan bahwa seorang Zahid itu adakalanya memang ia tidak memiliki apa-apa dan bisa pula seorang Zahid dilengkapi segala kemapanan hidup, harta, jabatan dan kekuasaan dan instrumen kebahagiaan lainnya. Kedua situasi ini tidak menjadi tolak ukur seorang digolongkan Zahid.
Titik tekan kedua, ini yang penting dan menjadi titik diferensiasi dan titik penentu seorang tergolong Zahid atau tidak. Titik kedua ini yakni tidak adanya ketergantungan, ini kunci. Seorang tergolong Zahid jika ia sudah mencapai titik ini, dimana tidak memiliki ketergantungan terhadap harta, jabatan, kuasa dan relasi instrumen duniawi lainnya.
Meskipun seorang memiliki harta dan aset finansial dengan jumlah besar bahkan tergolong Crazy Rich, ia memiliki jabatan, memiliki kekuasaan sebagai eksekutif atau yudikatif misalnya namun ia dalam batinnya tidak ada ketergantungan pada atribusi itu semua itu seorang Zahid. Artinya jika sewaktu-waktu atribusi keduniawian itu lenyap dan tidak ada, ia tidak merasa risau, menyesal apalagi menyalahkan takdir, sebab ia sadar itu bukanlah titik ketergantungannya.
Sebaliknya seseorang tidak memiliki finansial yang cukup atau bahkan tergolong miskin, jabatan pun tidak punya namun ia selalu menggerutu sebab ia masih memiliki ketergantungan pada harta, tentu sekalipun orang semacam ini tidak punya apa-apa tidak bisa digolongkan Zahid.
Dalam konteks yang lebih riil dan kontekstual misalnya, keterlibatan pada politik praktis dalam orkestrasi demokrasi tidak membuat seseorang tidak tergolong Zahid. Perlu di kroscek terlebih dahulu keterlibatannya dalam berpolitik.
Apakah ia berpolitik karena ada harapan tertentu ia ingin mendapatkan proyek pasca pemilu, sebagai batu loncatan kariernya serta tujuan lainnya sehingga ia matian-matian berpolitik maka jelas yang semacam ini tidak Zahid Karena politik masih ada ketergantungan.
Namun jika ia menempatkan pemilu sebagai instrumen politik untuk meraih al-maqshad al-a’dam alias Tujuan besar — bahasa Gus Mus di kompas– yakni sebagai usaha untuk meraih keadilan, kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tidak ada tendensi kepentingan nafsu pribadi maka tentu kita sepakat orang seperti sekalipun berpolitik tetap tergolong Zahid.
Orang seperti ini ketika kalah dalam laga politik (baca: pemilu) ia bersikap biasanya tidak merasa hina, risau dan sebagainya sebaliknya ketika menjadi pemenang ia tetap biasa pula, tidak sombong, mereka hebat dan sebagainya. Sikap seperti itu adalah sikap orang Zuhud persis uraian Mbah Siddiq diatas karena tidak ada ketergantungan pada politik.
Di Indonesia misalnya yang hingga saat ini di sebut Zahid sekali pun berpolitik adalah Gus Dur. Siapa yang berani meragukan kezuhudan Gus Dur sekalipun ia berpolitik bahkan membuat partai politik (PKB), ia pernah memegang kekuasaan presiden RI, menduduki jabatan ketua PBNU.
Tidak satupun meragukan hal itu karena ia samasekali tidak memiliki ketergantungan pada atribusi itu semua bahkan ia rela dilengserkan dan menanggalkan jabatan presidennya tanpa ada kerusuhan dan pertumpahan sesama anak bangsa.
Ini memperkokoh argumentasi KH. Ahmad Siddiq bahwa Zuhud bukan berarti Anti kekuasaan, hanya saja tidak tergantung pada kekuasaan itu sendiri. Lalu Ulama yang kini namanya diabadikan sebagai Nama kampus UIN KHAS Jember itu menuturkan dalam bagian akhir tulisan tentang Zuhud bahwa barang siapa tidak berputus-asa karena sesuatu yang terlepas dari tangannya dan tidak (terlalu) bergembira (melewati batas: sampai menjadi sombong) dengan sesuatu yang diterimanya dari Allah, maka dia sudah mendapatkan “ZUHUD” pada kedua belah ujungnya.