Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi

Selasa, 18 Februari 2025 - 11:53 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id- Wacana koalisi permanen yang diusung oleh Prabowo Subianto, dengan melibatkan partai-partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, menjadi sorotan dalam lanskap politik nasional serta muncul sebagai ironi. Pasalnya, ini terjadi di tengah keputusan progresif Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden.

Putusan MK ini seharusnya membuka peluang bagi setiap partai untuk mengajukan kandidatnya sendiri tanpa harus bergabung dalam koalisi besar. Namun, alih-alih memperkuat demokrasi, koalisi permanen justru berpotensi mengunci dinamika politik dan membatasi ruang gerak partai lain menuju Pilpres 2029.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, koalisi seharusnya bersifat dinamis, berubah sesuai dengan kepentingan politik dan strategi masing-masing partai. Namun, gagasan koalisi permanen menandai pergeseran dari fleksibilitas politik menuju penguncian kekuasaan.

Jika koalisi ini bertahan dalam jangka panjang, demokrasi bisa terjebak dalam formasi politik yang kaku. Hal ini akan menyebabkan hanya segelintir elite yang menentukan arah kebijakan dan pencalonan pemimpin di masa mendatang.

Langkah ini bukan sekadar strategi untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga upaya untuk mengamankan dominasi politik. Dengan mengukuhkan koalisi, KIM membangun blok yang sulit ditembus, mencegah munculnya poros alternatif yang bisa menyaingi mereka.

Apalagi, dengan isu yang beredar mengenai Prabowo Subianto yang mungkin kembali maju dalam Pilpres 2029, koalisi permanen bisa menjadi alat untuk memastikan tidak ada kader di luar lingkaran KIM yang mendapat jalan untuk maju.

Lebih jauh, strategi ini berpotensi menjadi pagar betis yang menghalangi partai-partai kecil dan menengah untuk mencalonkan kadernya sendiri. Padahal, dengan dihapuskannya presidential threshold, setiap partai seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengusung calon presiden tanpa harus bergantung pada restu partai besar.

Baca Juga :  Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 

Jika koalisi permanen ini diwujudkan, partai-partai kecil akan menjadi pelengkap yang tunduk pada kepentingan elite, kehilangan daya tawar dalam proses pencalonan.

Ironisnya, wacana ini hadir di tengah tantangan politik Indonesia yang lebih besar, seperti menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan proses demokrasi yang terkesan transaksional. Alih-alih menawarkan gagasan segar dan kepemimpinan baru, koalisi permanen justru berisiko mempersempit ruang kontestasi dan menjadikan pemilu sekadar formalitas tanpa persaingan yang berarti.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah koalisi permanen benar-benar demi stabilitas politik, atau justru upaya untuk membangun hegemoni? Jika yang terjadi adalah skenario kedua, kita sedang menuju demokrasi yang semakin terkunci, di mana akses kekuasaan hanya terbuka bagi kelompok yang telah lebih dulu menguasai arena politik.

William Liddle, pakar ilmu politik dari Ohio State University, mengingatkan tentang bahayanya dominasi elite dalam politik Indonesia. Menurutnya, meskipun Indonesia secara teori memiliki sistem demokrasi yang terbuka, praktik politik sering kali justru dikendalikan oleh segelintir elite yang lebih mengutamakan stabilitas politik demi kepentingan mereka sendiri.

Bagi Liddle, demokrasi bukanlah sekadar alat yang bisa diganti sekehendak hati ketika tidak memuaskan tujuan sekelompok orang berkuasa, melainkan cita-cita yang harus diwujudkan. Peringatan Liddle ini sangat relevan dengan wacana koalisi permanen yang berkembang.

Jika koalisi ini terbentuk, keputusan-keputusan politik bisa semakin terkonsentrasi pada sekelompok kecil elit, mengurangi ruang bagi kompetisi yang sehat dan menutup kesempatan bagi partai-partai kecil untuk berperan dalam proses demokrasi.

Baca Juga :  Enaknya Jadi Keluarga Koruptor

Demokrasi yang sehat meniscayakan kompetisi yang terbuka dan adil. Dengan sistem multipartai, seharusnya ada ruang bagi berbagai kekuatan politik untuk bertarung secara setara. Jika semua partai bisa mencalonkan presiden tanpa batasan koalisi, rakyat memiliki lebih banyak pilihan. Namun, jika koalisi permanen diwujudkan, Pilpres 2029 bisa menjadi ajang politik yang lebih tertutup dan terkonsolidasi, hanya dikuasai oleh lingkaran elite tertentu.

Kita bisa belajar dari pengalaman demokrasi di negara lain. Di beberapa negara dengan sistem koalisi yang terlalu terkonsolidasi, partai-partai kecil kehilangan daya tawarnya, bahkan perlahan melebur dalam dominasi partai besar. Akibatnya, politik menjadi semakin oligarkis, di mana keputusan politik hanya berputar di lingkaran elite yang sama, tanpa memberikan ruang bagi regenerasi kepemimpinan atau lahirnya gagasan baru.

Koalisi dalam politik adalah hal yang wajar, bahkan diperlukan untuk memastikan stabilitas pemerintahan. Namun, koalisi yang dikunci secara permanen justru bisa menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Kita harus waspada, sebab ini bukan sekadar strategi politik biasa, melainkan mekanisme membangun dominasi yang sulit digugat di masa depan.

Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh keputusan partai politik, tetapi juga oleh kesadaran publik dalam mengawasi bagaimana kekuasaan dikelola. Jika publik membiarkan strategi semacam ini tanpa kritik, kita sedang menuju demokrasi yang dikendalikan oleh elite, bukan oleh rakyat.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Meluruskan Makna Kemanusiaan
Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik

Baca Lainnya

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Jumat, 21 Maret 2025 - 23:34 WIB

Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

TERBARU

Kolomiah

Kartini, Lentera Kaum Kecil

Selasa, 22 Apr 2025 - 19:01 WIB

Educatia

Kartini, Lentera Pendidikan Perempuan

Selasa, 22 Apr 2025 - 12:47 WIB