Frensia.id – Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01 Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, mengutip surat Ar-Rum ayat 41 dalam penyampaian closing statement debat cawapres yang berlangsung di Balai Sidang Jakarta (JCC), Minggu (21/01/2024).
Sementara, cawapres nomor urut 03, Mahfud MD mengutip ayat yang berkaitan dengan kerusakan alam tersebut saat menyampaikan visi-misi dan memberikan pernyataan pamungkasnya.
“Telah terjadi kerusakan di bumi karena tingkah laku manusia, di darat dan di laut, ini ditunjukkan oleh Allah agar manusia sadar bahwa mereka telah merusak alam yang dikuasai seharusnya oleh bangsanya,” kata Mahfud MD menerangkan ayat tersebut.
Hal itu dinilai tepat mengingat tema debat cawapres ini berkaitan dengan Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat, dan Desa.
Berikut bunyi ayat dan terjemahan dari Surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Untuk lebih makna dan tafsir ayat tersebut Frensia.id mengutip Tafsir Tahlili dari quran.nu.or.id. Tafsir Tahlili adalah metode menafsirkan al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an. Berikut Tafsirnya:
Dalam ayat ini diterangkan bahwa telah terjadi al-fasad di daratan dan lautan. Al-Fasad adalah segala bentuk pelanggaran atas sistem atau hukum yang dibuat Allah, yang diterjemahkan dengan “perusakan”. Perusakan itu bisa berupa pencemaran alam sehingga tidak layak lagi didiami, atau bahkan penghancuran alam sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan.
Di daratan, misalnya, hancurnya flora dan fauna, dan di laut seperti rusaknya biota laut. Juga termasuk al-fasad adalah perampokan, perompakan, pembunuhan, pemberontakan, dan sebagainya. Perusakan itu terjadi akibat prilaku manusia, misalnya eksploitasi alam yang berlebihan, peperangan, percobaan senjata, dan sebagainya.
Perilaku itu tidak mungkin dilakukan orang yang beriman dengan keimanan yang sesungguhnya karena ia tahu bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan nanti di depan Allah.
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa tidak seluruh akibat buruk perusakan alam itu dirasakan oleh manusia, tetapi sebagiannya saja. Sebagian akibat buruk lainnya telah diatasi Allah, di antaranya dengan menyediakan sistem dalam alam yang dapat menetralisir atau memulihkan kerusakan alam. Hal ini berarti bahwa Allah sayang kepada manusia. Seandainya Allah tidak sayang kepada manusia, dan tidak menyediakan sistem alam untuk memulihkan kerusakannya, maka pastilah manusia akan merasakan seluruh akibat perbuatan jahatnya.
Seluruh alam ini akan rusak dan manusia tidak akan bisa lagi menghuni dan memanfaatkannya, sehingga mereka pun akan hancur. Allah berfirman: Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)-nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
Dengan penimpaan kepada mereka sebagian akibat perusakan alam yang mereka lakukan, Allah berharap manusia akan sadar. Mereka tidak lagi merusak alam, tetapi memeliharanya. Mereka tidak lagi melanggar ekosistem yang dibuat Allah, tetapi mematuhinya. Mereka juga tidak lagi mengingkari dan menyekutukan Allah, tetapi mengimani-Nya. Memang kemusyrikan itu suatu perbuatan dosa yang luar biasa besarnya dan hebat dampaknya sehingga sulit sekali dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Bahkan sulit dipanggul oleh alam, sebagaimana dinyatakan firman-Nya: Hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu).
Seluruh langit dan bumi adalah satu sistem yang bersatu di bawah perintah Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa semua yang ada dalam sistem ini diberikan untuk kepentingan hidup manusia, yang dilanjutkan dengan suatu peringatan spiritual untuk tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Sebagai khalifah, manusia harus mengikuti dan mematuhi semua hukum Allah, termasuk tidak melakukan kerusakan terhadap sumber daya alam yang ada. Mereka juga harus bertanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi ini. Bumi ditundukkan Allah untuk menjadi tempat kediaman manusia. Akan tetapi, alih-alih bersyukur, manusia malah menjadi makhluk yang paling banyak merusak keseimbangan alam.
Contoh yang merupakan peristiwa-peristiwa alam yang terjadi di tanah air karena ulah manusia adalah kebakaran hutan dan banjir. Dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah, di samping memperoleh hak untuk menggunakan apa yang ada di bumi, mereka juga memikul tanggung jawab yang berat dalam mengelolanya.
Dari sini terlihat pandangan Islam bahwa bumi memang diperuntukkan bagi manusia. Namun demikian, manusia tidak boleh memperlakukan bumi semaunya sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh kata-kata bumi (453 kali) yang lebih banyak disebutkan dalam Al-Quran daripada langit atau surga (320 kali).
Hal ini memberi kesan kuat tentang kebaikan dan kesucian bumi. Debu dapat menggantikan air dalam bersuci. Nabi Muhammad saw bersabda: Bumi diciptakan untukku sebagai masjid dan sebagai alat untuk bersuci. (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) Ada semacam kesakralan dan kesucian dari bumi, sehingga merupakan tempat yang baik untuk memuja Tuhan, baik dalam upacara formal maupun dalam perikehidupan sehari-hari.