Salah satu amaliyah warga nahdliyin adalah ziarah kubur. Kegiatan ini tidak sekedar dilakukan sekali atau dua kali, melainkan menjadi kebiasaan pada waktu tertentu.
Sedangkan waktu yang dimaksud secara umum biasanya pada hari kamis sore menjelang hari jum’at, satu hari sebelum bulan ramadhan tiba dan sebelum hari raya idul fitri.
Selain memanjatkan yasin dan tahlil di kuburan, salah satu pekerjaan yang dilakukan lainnya disamping menabur bunga juga membersihkan kuburan dengan cara mencabut rumput dan semak-semak yang tumbuh disekitar kuburan.
Maksud dan tujuan dari tindakan tersebut tidak lain untuk membersihkan, sehingga akan tampak terawat. Hal ini dilakukan sebagian besar oleh masyarakat secara umum.
Ternyata terdapat persoalan mengenai tindakan untuk memangkas rumput di sekitar kuburan. Bahwa terdapat hak dari mayit atas rumput tersebut, dimana rumout yang tumbuh mampu mendoakan dan memintakan ampunan untuk orang yang meninggal. Hal tersebut dikuatkan berdasarkan argumentasi yang tersebut dalam kitab Fathul Mu’in.
“Disunahkan menaruh pelepah kurma yang masih segar di atas kuburan dalam rangka mengikuti apa yang dilakukan Nabi saw, karena hal itu mayat akan diringankan dari siksa atas berkat tasbih pelepah kurma tersebut, begitu pula tanaman sejenis kemangi. Dan haram mengambilnya selagi belum kering, karena termasuk menghalangi mayit mengambil manfaat dan haknya, berupa diringankan siksanya dan dikunjungi malaikat”.
Lebih rinci lagi mengenai persoalan dari hukum memangkas atau mencabut rumput di kuburan menurut mazhab Syafi’i boleh jika sudah kering akan tetapi apabila masih basah, maka harus menyisakan untuk mayit dengan syarat yang melakukan adalah keluarganya. Jika bukan keluarga atau pemiliknya maka secara mutlak tidak boleh.
Berdasarkan nalar tekstualis maka dapat disimpulkan bahwa mencabut atau memangkas rumput dikuburan adalah tidak boleh. Akan tetapi ada beberapa dalil rasional yang menjadi pertimbangan untuk melakukan hal tersebut.
Beberapa makam ulama’ yang masyhur sebagai waliyullah cenderung terawat dan tidak ada satu rumput pun tumbuh, bahkan ditinjau dari segi tata bangunan cenderung menjadikan rumput atau tumbuhan apapun untuk tidak bisa tumbuh. Artinya sebelum rumput itu tumbuh dan memungkinkan sudah dicegah.
Lain daripada itu, apabila kuburan tersebut berada di tempat umum, maka pemilik akan mempunyai usulan kepada perawat makam atau yang ditugaskan untuk membersihkannya, karena dikhawatirkan ada ular yang memungkinkan bahaya.
Menurut dua dalil yang tersebut diatas, sebenarnya tidak menemukan titik pertemuan. Karena dalil pertama bersifat transenden dan kedua adalah bentuk preventif sebagai upaya keselamatan. Sedangkan menganalogikan kepada makam-makam ulama’ tidak bisa menjadi dasar, karena mempunyai konteks yang berbeda.
Paling dekat dari dua dalil tersebut adalah dengan memangkas rumput sebagian saja, kiranya tidak ada ular yang dapat bersembunyi dengan syarat berdasarkan izin dari pemiliknya.
Sekalipun begitu, kontroversi yang terjadi di masyarakat tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan dalil larangan mencabut rumput di makam. Karena pada praktiknya mereka menghendaki makam keluarganya tampak bersih secara menyeluruh.
Lebih-lebih bagi mereka yang rajin dan mempunyai kedisiplinan untuk selalu datang berziarah dan tidak dapat dibandingkan dengan mereka yang jarang.