Frensia.Id – Haji sebagai ibadah, memuat rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Meninggalkan salah satu rukunnya bisa dikatakan hajinya tidak sah. Namun demikian, rukun ini harus diselami lebih dalam.
Setelah ihram dan wukuf, rukun haji adalah thawaf seperti yang tertuang dalam kitab Fathul Qaribil Mujib. Tulisan ini lanjutan dari bagian pertama yang mengelaborasi ihram dan wukuf pada takaran filosofisnya.
Demikian pula tulisan ini mengurai tawaf pada takaran filosofis yang sama. Tawaf adalah mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali putaran.
Menurut Ali Syariati dalam Haji mengungkapkan ka’bah ini melambangkan ketetapan dan keabadian Allah. Allah adalah titik pusatnya eksistensi, titik fokus dari dunai yang fana.
Sementara mengelilingi ka’bah merupakan transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia. Tidak ada lagi “aku” kerena bertranformasi atau berubah menjadi “kita” atau ummah menuju Allah.
Tidak lagi “aku”, namun yang terlihat adalah totalitas dan universalitas umat manusia.
Andaikata ada seseorang melakukan tawaf namun ia masih tertuju dan menonjolkan identitas dan kelebihan dirinya, maka hakekatnya ia tidak tergolong bagian dari lingkaran yang totalitas dan universalitas ummat ini.
Bagi Ali Syariati, mereka tak ubahnya seperti pengunjung yang hanya berdiri di tepian sungai dan tidak menyelami keindahan didalam sungai tersebut.
Lebih jelasnya, mereka yang sedang berhaji hanya lahiriyahnya saja yang tawaf, namun jiwanya belum bisa dibilang thawaf. Mereka masih tertutupi oleh pakaian yang menonjolkan atribut “akunya”.
Start awal melakukan thawaf dimulai dari hajar aswad (batu hitam) dan finisnya berakhir pada hajar aswad juga. Memulai dan dan mengakhirkan di hajar aswad ini merupakan cara mendapatkan ‘orbit’ untuk memperoleh jalan keselamatan.
Pemaknaan simbolisasi dari pelaksanaan tawaf pada takaran filosofis memuat pesan bahwa, tiap-tiap manusia harus menyadari dari mana ia berasal dan akan kemana ia menuju.
Manusia yang sadar dengan konsep ini kecenderungannya tidak akan menonjolkan diri. Mereka tidak merasa lebih baik, bersikap kasih sayang sesama dan merasa dirinya lemah.
Manusia yang demikian sadar bahwa ia diciptakan oleh Allah dan saat hidup di dunia sedang berproses menuju Allah. Dengan kesadaran ini, mereka tidak akan menempatkan dirinya paling mulia, hebat, punya kuasa dan memandang yang lain kecil.
Sebab mereka sadar, ia hanya manusia sama seperti lainnya yang sedang sama-sama menjalani hidup dengan baik agar kembali kepada Allah dalam keadaan baik.
Itulah aspek hakekat/filosofi tawaf mengajarkan kepada manusia bahwa setinggi apapun level jabatannya, kuasanya, sekaya apapun hartanya ia tetaplah berstatus “mahluk” sama dengan manusia yang tidak memiliki atribusi tersebut. Tidak dibenarkan mahluk mendominasi mahluk.
Pada akhirnya manusia akan menanggalkan atribusi hidup yang ia miliki ketika kembali pada Allah. Tawaf memberi makna, sejatinya hidup adalah dari, oleh dan untuk Allah. Allah adalah pusat kehidupan manusia.
Mereka berada dimanapun dan kapanpun senantiasa bersama Allah dan menghadirkan kebaikan untuk dirinya dan orang sekitarnya. (*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Dar Al Falasifah)