Makna Malam Satu Suro pada Serat Centhini dan Serat Wirid Hidayat Jati

Potret Serat Centhini - Koleksi Museum Sonobudyo

Frensia.id – Malam Satu Suro atau dikenal juga sebagai malam Tahun Baru Jawa merupakan tradisi yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa. 

Malam ini diyakini sebagai malam yang sakral dan penuh makna. Dalam menyambutnya, masyarakat Jawa melakukan berbagai ritual dan tradisi turun-temurun.

Salah satu tradisi yang masih dilestarikan adalah melarung sesaji ke laut atau sungai. Sesaji ini berupa berbagai makanan dan bunga-bungaan yang diletakkan dalam ancak atau wadah khusus. 

Bacaan Lainnya

Ritual ini dipercaya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan penguasa laut atau sungai.

Dalam kitab Serat Centini, karya Ranggawarsita, disebutkan:

“Ingkang wau puniku sami lebet ing Sura, puniku musim ingkang sayekti, ingkang misuwur wonten ing tanah Jawa, nalika samana sami nglampahi laku tapa brata.”

Terjemahan:

“Yang dimaksud adalah bulan Sura, itulah musim yang sebenarnya, yang terkenal di tanah Jawa, pada saat itu semua orang menjalankan laku tapa brata (puasa dan menahan diri).”

Kutipan ini menunjukkan bahwa malam Satu Suro dianggap sebagai momen yang tepat untuk melakukan tapa brata atau menahan diri dari hal-hal duniawi.

Selain itu, dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita juga disebutkan:

“Ing mangsa Sura punika, wiwit tanggal sepisan, laminipun wonten kalih ndalu, inggih punika ndalu Jumu’at Legi lan ndalu Rebo Wekasan.”

Terjemahan:

“Pada bulan Sura, dimulai tanggal satu, terdapat dua malam yang istimewa, yaitu malam Jumat Legi dan malam Rabu terakhir.”

Kutipan ini mengisyaratkan bahwa malam Satu Suro dan malam-malam tertentu pada bulan Sura dianggap istimewa dalam tradisi Jawa.

Tradisi malam Satu Suro tidak hanya sekedar ritual, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur seperti penghormatan kepada leluhur, rasa syukur kepada Sang Pencipta, dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tahun mendatang. Tradisi ini menjadi warisan budaya yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi. (*)