Manusia sebagai hamba Allah dituntut untuk taat dengan menjalankan kewajiban serta menjauhi larangan Allah. Manusia harus berikhtiar, berusaha dengan kemampuannya untuk terus menjauhi larangan Allah seperti hanlnya menjauhi maksiat. Lalu bagaimana dengan manusia yang bermaksiat apakah mereka bermaksiat itu merupakan kehendak Allah? Syaikh Ramadhan al-Buthi menanggapi hal tersebu dengan cerdas. Dalam kanal Youtube The Santri ID./22/2021, ulama asal suriah ini memaparkan secara lugas mengenaia apakah maksiat bagian dari kehendak Allah atau bukan.
“Tentu, kita katakan bahwa Allah swt maha berkehendak dan kehendak-Nya itu sempurna. Tidak akan terjadi segala sesuatu di alam semesta kecuali cengan kehendak-Nya. Kehendak-nya selamanya tidak pernah berutujuan untuk membenci siapapun. Contohnya ada seorang ingin bermaksiat kepada Allah, dia ingin sesuatu yang memabukkan kemudian dia benar meminumnya. Hal ini yang diinginkan dan dilakukan orang ini. Apakah hal tersebut berasal dari kehendak Allah atau bukan? jika kita katakan ‘ya’ berasal dari kehendak Allah bahkan, mungkin saja seseorang mengatakan kalau begitu Tuhan kita menghendaki maksiat? Namun, kita katakan ‘tidak’, Allah tidak menghendaki maksiat ini.” Tuturnya dalam awal penyampaiannya
“Orang ini bermaksiat kepada Allah dengan apa yang dia telah lakukan ini, akan tetapi Allah tidak menghendaki maksiat ini. Kalau begitu, disana ada banyak hal yang terjadi namun Allah tidak menghendakinya. Artinya, ada banyak perkara dimana membenci hal tersebut terjadi jika itu terjadi, Dia tidak menhendaki maksiat itu dan tentu terjadi tanpa kehendak-nya. Berarti hal tersebut menjadi sesuatu yang dibenci, bagaimana kemudian menjawab persolan ini?” Imbuhnya
Menurut Syaikh Said Ramadhan al-Buthi untuk mengetahui apakah perkara itu terjadi karena kehendak manusia sendiri atau memang kehendak Allah perlu dilihat terlebih dahulu apakah perkara itu masuk wilayah perkara yang tidak memliki pilihan sama sekali karena itu Allah mengatur hal tersebut dengan kehendak Dzat-Nya atau jenis kedua dari perkara yang bersumber dari manusia.
“Perkara yang bersumber dari manusia itu ada dua macam. Pertama, perkara yang tidak memliki pilihan sama sekali, Allah mengatur hal tersebut dengan kehendak Dzat-Nya dan tidaklah manusia padahal tersebut memiliki pilihan apapun; proses kelahirannya, kematiannya, sakitnya, sehatnya, gerakan gemetar yang terjadi, perkara seperti ini dan contoh-contohnya bersumber dari kita, namun apakah kita didalamnya punya pilihan? Perkara yang bersumber dari kehendak Allah pada diri kira dan ini begitu banyak kalian semua tahu mengenai hal ini.” Tuturnya
“Kedua, jenis kedua dari perkara yang bersumber dari manusia. Perkara-perkara yang bersumber dari kehendak pribadi manusia itu sendiri yaitu seputar kemampuan yang Allah telah anugerahkan kepadanya, yang dinamakan ‘malakah al-ikhtiar’ (kemampuan memilih) atau katakanlah sebagai malakah al iradah (kemampuan berkehendak) atau sebutlah sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan contohnya datangnya kalian ketempat ini, perginya seseorang ke pasar untuk berdagang seperti perbuatan maksiat. Kehendak yang dengannya saat ini saya menikmati sesuatu kita menamakannya ‘ikhtiar’ (kemampuan memilih) dinamakan kehendak untuk mengambil keputusan siapa yang menganugerahkan saya hal tersebut? Jika Allah, maka artinya Dia menghendaki saya untuk dapat memilih saya memakai kemampuan ini dalam melakukan ketaatan dan melakukan sebuah ketaatan dari ketaatan-ketaatan lainnya.”
“Apakah kehendak Allah berhubunhgan dengan ketaatan ini atau tidak? tentu berhubungan buah dari kemampuanku memilih, kesemuanya adalah dari kehendak-Nya Allah dan jika misalnya, ada seseorang ingin menggunakan kemampuan yang Allah anugerahkan ini untuk maksiat dia pergi untuk minum sesuatu yang memabukkan, melakukan yang keji, perbuatan yang dia lakukan ini, masuk ke dalam kehendak Allah atau tidak? tentu masuk tapi jangan berhenti disitu! Ketika Allah menginginkan seseorang yang bermaksiat ini untuk memiliki kehendak ketika Allah menhendaaki pelaku maksiat ini untuk menikmati kehendaknya dan kemudian pelaku maksiat ini menggunakan kemampuan ini untuk melakukan hal-hal yang dilarang perbuatan haram ini masuk ke dalam kehendak Allah akan tetapi apakah bisa seseorang ini kemudian mengatakan “wahai tuhannku !! engkau yang menghendaki saya untuk maksiat, maka perbuatan saya ini sesuai dengan kehendak-Mu”. Apakah bisa ia berhaka seperti itu? Tidak demikian. Tegasnya.