Frensia.id – Di tengah hiruk pikuk perdebatan tentang hukum, sering kali kita terjebak pada anggapan bahwa hukum semata-mata adalah cermin dari perilaku masyarakat. Padahal, Hans Kelsen—seorang pemikir hukum abad ke-20—telah lama mengingatkan kita: hukum bukanlah soal perilaku, melainkan norma. Inilah yang membedakan ilmu hukum normatif dengan ilmu hukum lain yang bersifat empiris, seperti sosiologi hukum.
Kelsen melalui bukunya General Theory of law dan state menegaskan, ilmu hukum normatif memiliki objek yang unik, yakni norma. Norma adalah aturan yang mengatur “apa yang seharusnya dilakukan”, bukan sekadar mencatat “apa yang sudah dilakukan”. Dengan demikian, hukum dalam kacamata normatif tidak bicara tentang berapa banyak orang yang mencuri di sebuah kota, tetapi bicara tentang aturan yang melarang pencurian dan konsekuensinya.
Di titik ini, muncul pertanyaan: apakah hukum normatif berarti tidak ilmiah karena hanya berbicara tentang “seharusnya”? Kelsen membantah keras pandangan tersebut. Baginya, ilmu hukum normatif tetap bisa disebut empirik, sebab ia mendeskripsikan norma-norma positif yang nyata berlaku dalam sistem hukum. Sama seperti ilmu alam yang mencatat gejala-gejala empiris, ilmu hukum normatif pun mencatat dan mendeskripsikan aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah tatanan hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, ada garis tegas yang ditarik Kelsen. Ilmu hukum normatif hanya menjelaskan norma, bukan melahirkan norma baru. Pejabat pembuat undang-undanglah yang berhak melahirkan norma. Ilmu hukum normatif sekadar menjelaskan apa yang sudah ada dalam dokumen hukum. Misalnya, jika Pasal 362 KUHP menyebutkan “barang siapa mengambil barang milik orang lain dengan maksud memiliki, diancam karena pencurian dengan pidana…”, maka ilmu hukum normatif hanya akan menjelaskan bahwa norma tersebut melarang pencurian dan memberi konsekuensi pidana. Ia tidak menilai apakah norma itu adil atau tidak, apalagi merancang norma baru.
Di sinilah sering terjadi kekeliruan. Banyak orang menyamakan hukum dengan ilmu hukum. Hukum itu sendiri adalah kumpulan norma, sedangkan ilmu hukum normatif adalah upaya untuk mendeskripsikan norma-norma tersebut secara ilmiah. Sosiologi hukum, di sisi lain, berbicara soal fakta: apakah norma tersebut ditaati, mengapa dilanggar, dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat.
Kelsen bahkan menarik analogi menarik. Menurutnya, hukum positif mirip dengan hukum alam dalam hal struktur logika. Hukum alam bekerja dengan pola sebab-akibat: jika A terjadi, maka B akan menyusul. Hukum positif juga demikian, hanya saja dalam bentuk hubungan perbuatan manusia dengan konsekuensi hukum. Jika seseorang mencuri, maka ia dipidana. Jika seseorang melanggar kontrak, maka ia wajib mengganti kerugian.
Bedanya, hukum alam berbicara tentang fenomena alam yang pasti terjadi, sedangkan hukum positif berbicara tentang konsekuensi normatif yang ditetapkan negara. Keduanya sama-sama memakai logika “jika-maka”, tetapi berbeda dalam substansi.
Kelsen ingin menegaskan bahwa ilmu hukum normatif bersifat objektif. Ia tidak berpihak pada moralitas atau politik. Ia sekadar menjelaskan apa yang berlaku, tanpa memasukkan penilaian apakah aturan itu adil atau zalim. Inilah yang kemudian membuat teori Kelsen dikenal sebagai Pure Theory of Law, sebuah teori hukum murni yang mencoba memisahkan hukum dari moral, agama, dan politik.
Tentu, pandangan ini sering dipersoalkan. Bagaimana mungkin hukum dilepaskan dari nilai moral? Bukankah hukum juga harus memperjuangkan keadilan? Kritik semacam ini sah saja, tetapi justru di situlah kekuatan Kelsen: ia mengingatkan kita bahwa sebelum membicarakan keadilan hukum, kita perlu lebih dulu memahami hukum apa adanya. Bagaimana kita bisa memperbaiki hukum, jika norma yang berlaku saja tidak kita pahami secara jernih?
Di Indonesia, pandangan Kelsen masih relevan. Dalam praktik sehari-hari, sering kali masyarakat bingung membedakan antara hukum sebagai norma dengan hukum sebagai perilaku. Ketika ada kasus korupsi, banyak yang berkata “hukum tidak berjalan”. Padahal, norma hukum tentang korupsi jelas ada dan berlaku. Yang tidak berjalan adalah perilaku aparat dalam menegakkan norma tersebut.
Maka, belajar dari Kelsen, kita perlu membedakan antara hukum sebagai teks yang berlaku, hukum sebagai perilaku yang dijalankan, dan ilmu hukum sebagai kajian yang menjelaskan norma. Dengan pembedaan itu, kita bisa lebih jernih membaca persoalan hukum: apakah masalahnya ada pada norma, pada pelaksanaan, atau pada keduanya.
Hukum, pada akhirnya, memang bukan sekadar soal perailaku, melainkan norma. Dan tugas ilmu hukum normatif adalah menjelaskan norma itu dengan jernih, tanpa tergoda menilainya dengan moralitas atau politik. Bukankah untuk memperjuangkan keadilan, langkah pertama adalah memahami dulu aturan mainnya?