Frensia.id – Setiap musim haji, ada satu pemandangan yang tak pernah gagal menggugah hati: wajah-wajah haru para jemaah Indonesia yang berpamitan. Di halaman rumah, mereka memeluk anak, mencium kening cucu, menangis pelan. Tapi dalam tangis itu, ada cahaya: cahaya orang-orang yang sedang memenuhi undangan langsung dari langit.
Tahun ini, 221.000 jemaah Indonesia diberi kehormatan itu. Mereka berasal dari kuota haji reguler sebanyak 203.320 jemaah, termasuk prioritas lansia, pembimbing ibadah, dan petugas daerah. Sisanya 17.680 jemaah haji khusus. Angka-angka ini bukan sekadar data. Ia adalah daftar nama orang-orang yang dipilih, dijemput secara ruhani untuk menjadi tamu agung di rumah Allah.
Di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh ambisi, keberangkatan haji seperti teguran sunyi. Ia mengingatkan kita: sekuat apapun manusia menabung, sehebat apapun ia merencanakan, tetap saja haji bukan soal uang dan koneksi. Ia soal undangan. Dan undangan itu datang dengan cara yang sering kali tak bisa ditebak logika manusia.
Tapi ada satu hal yang patut diwaspadai: jangan-jangan kita hanya berangkat, tapi tak benar-benar sampai. Haji bisa jadi hanya perjalanan fisik—dari rumah ke Makkah dan kembali ke rumah lagi—tanpa pernah menyentuh kedalaman jiwa. Padahal, inti haji bukan pada langkah kaki, melainkan pada langkah hati. Apakah kita lebih jernih setelah wukuf? Apakah kita lebih lembut setelah thawaf?
Haji yang sejati bukan diukur dari berapa liter air zamzam dibawa pulang. Tapi dari berapa banyak dendam yang dibasuh. Bukan dari berapa tas oleh-oleh, tapi dari berapa ego yang ditinggalkan di padang Arafah. Karena haji itu bukan perjalanan membawa nama, tapi perjalanan menanggalkan nama. Melepas semua status dunia, agar kita kembali kepada fitrah: hamba.
Lalu, apa yang ditunggu bangsa ini dari para haji? Sederhana saja: keteladanan. Negeri ini tak butuh lagi orang suci di poster, tapi butuh sosok yang ketika pulang dari Tanah Suci, lebih jujur dalam berdagang, lebih adil dalam memutuskan, lebih lembut pada yang lemah, lebih berani pada yang zalim.
Dan bagi yang belum berangkat, jangan berkecil hati. Karena sejatinya, haji bisa dimulai dari sekarang: dari bersihnya niat, dari shalat yang khusyuk, dari maaf yang diberi sebelum diminta. Kadang ada orang yang belum pernah ke Makkah, tapi hidupnya sudah seperti habis thawaf: berputar-putar melayani sesama.
Akhir kata, selamat jalan wahai para jemaah. Pulanglah nanti bukan hanya membawa foto Ka’bah, tapi juga membawa pantulan cahayanya dalam hidup sehari-hari. Jika itu yang dibawa, maka hajimu telah sampai. Dan kami yang di rumah pun ikut merasakan mabrurnya.*