Musahadi, Doktoral Universitas Islam Negeri (UIN) Wali Songo Semarang, serta dua peneliti lain asal institut Agama Islam Riyadlotul Mujahidin Ngabar Ponorogo dan Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah Pasuruan, menemukan indikasi adanya paham liberal di Ma’had Aly Situbondo . Tim Frensia
Frensia.id-Mencengangkan! Kehadiran Ma’had Aly sebagai pendidikan tinggi khas Pesantren ternyata ada yang menganggapnya liberal. Sedikitnya, ada dua penelitian yang nyata-nyata menyebut Ma’had Aly di salah satu pesantren Situbondo memiliki paham keagamaan dan nalar fiqh liberal.
Perkembangan Ma’had Aly kini diakui secara legal oleh pemerintah. Hal demikian di dasarkan pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Pada sekitar tahun 2016, lembaga ini ditetapkan sebagai pendidikan formal diniyah yang muncul di pesantren.
Legalitasnya semakin kuat dengan hadirnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-undang ini menjadi dasar dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 32 Tahun 2020, yang menjelaskan ragam dan standar pengembangan Ma’had Aly sebagai lembaga formal pendidikan tinggi salaf ala pesantren.
Perkembangan berikutnya, melalui terbitnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, perjuangan Ma’had Aly untuk mendapatkan pengakuan lebih luas dan landasan hukum yang kokoh berlanjut. Peraturan Menteri Agama No. 32 Tahun 2020 memperjelas standar dan kerangka pengembangan Ma’had Aly, memberikan arahan yang lebih jelas untuk mencapai visi besar sebagai pendidikan tinggi yang bertujuan mengembangkan pendidikan agama tinggi pesantren.
Sayangnya, ada dua penelitian yang mengungkap salah satu Ma’had Aly, yakni di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Soekerjo Situbondo. Ternyata, orientasi lembaga tersebut diklaim sangat terbuka, atau tidak sama dengan pendidikan salaf pada umumnya. Malah yang mencengangkan, dua penelitian ini menyebut lembaga tersebut memiliki elemen liberal dalam pemahaman keagamaan dan fiqhnya.
Riset Musahadi, Peneliti UIN Wali Songo
Musahadi adalah seorang akademisi lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Wali Songo Semarang, dulu IAIN Wali Songo. Ia menulis penelitian yang fokus untuk mencari elemen-elemen liberal Ma’had Aly Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Sebenarnya, riset ini adalah merupakan riset tugas akhir program doktoralnya. Temuannya ini telah diterbitkan berbentuk jurnal di Asy-Syir’ah pada tahun 2013 lampau.
Temuannya cukup mencengangkan, Musahadi mengaku menemukan elemen liberal yang begitu nyata ada dalam desain pendidikan Ma’had Aly. Bahkan ia menyebut secara gamblang indikator-indikator yang mendukung temuan tersebut.
Diantara yang diungkapkannya sebagai bukti adanya liberalitas paham liberal agama pendidikan Ma’had Aly Situbondo adalah indikasi ketidakpuasan dengan nalar fiqh NU dan masuknya jejaring kelompok yang dianggapnya juga menganut paham liberal. Kedua indikator ini dianggapnya ada dalam proses pendidikannya.
Riset Marjuni dan Khafidz Fuad Raya
Riset selanjutnya, yang disusun Marjuni dan Moch. Khafidz Fuad Raya. Marjuni adalah seorang akademis dari Institut Agama Islam Riyadlotul Mujahidin Ngabar Ponorogo. Sedangkan Fuad Raya berasal dari Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah Pasuruan.
Hasil penelitian keduanya juga telah terbit. Sudah disusun berbentuk jurnal dan dipublikasi oleh Tatsqif pada tahun 2021 kemarin.
Ada indikasi yang ditemukannya, dan mendukung adanya persetujuan risetnya bahwa memang ada paham liberal dalam pendidikan Ma’had Aly Situbondo. Hal tersebut ditemukannya saat yang mengkaji historis Ma’had ‘Aly, kurikulum takhaṣṣuṣnya, hingga buletin Tanwirul Afkar (TA).
Uniknya, ia melihat TA, sebagai kelompok kajian agama yang di Ma’had Aly, telah melahirkan pemahaman yang dapat masuk sebagai paham liberal agama. Kesimpulan-kesimpulan kajiannya, tidak hanya memicu diskusi di kalangan internal pesantren, tetapi juga menarik perhatian luas di masyarakat.
Salah satunya, membolehkan perkawinan beda agama. Hal demikian topik yang dianggap selalu menjadi sumber perdebatan panas dalam konteks hukum Islam. Dalam banyak tradisi Islam, perkawinan beda agama sering kali dianggap tidak sah atau bahkan haram.
Namun, TA, melalui ijtihad yang mendalam dan analisis kontekstual, memberikan argumen bahwa dalam kondisi tertentu, perkawinan beda agama dapat dibolehkan. Keputusan ini membawa gelombang reaksi beragam, dari apresiasi atas keberanian intelektual hingga kritik tajam dari kalangan konservatif.
Walaupun demikian, ia menyebut Ma’had Aly sebenarnya membawa positif paham nalar yang baik. Dari fakta yang ditemukannya, ia menyebut ada hal yang mestinya harus dipahami pada konteks hukum Islam saat ini.
“The contribution of this research provides novelty that apparently Ma’had ‘Aly is trying to show that the door of ijtihad in the excavation of Islamic jurisprudence is still wide open”, catat kedua peneliti ini dalam catatan akhir risetnya. (*)