Penulis: Aam Henghong*
Frensia.id- Tidak semua pendaki kaya raya. Seperti saya dan rekan-rekan seperhobian, yang merasa naik gunung adalah soal kegemaran bukan tentang strata ekonomi yang berlebih. Hoby harus diperjuangkan, tak kenal aral melintang atau pun anjing menggonggong, perahu perjuangan harus tetap diayunkan.
Salah satu cara pendaki yang berada pada kondisi yang relatif fakir, tentu adalah dengan memangkas anggaran biaya pendakian. Seperti kita, saat mendaki puncak tertinggi gunung raung melalui jalur ekonomis.
Daki Gunung, Tentang Rindu
Telah lama rasanya, kita sesama pencinta daki gunung, tak menikmati puncak tertinggi Gunung Raung, yang dikenal dengan sebutan “Raung sejati”. Keindahan alam, terjal jalan hingga sepoi udaranya, sungguh telah menumpuk di kepala, menjadi rindu.
Mungkin bagi kalian yang tak pernah sampai ke sana, mustahil merasakan rindu setebal ini. Namun bagi yang sudah mengenal, merindukannya adalah hal pasti. Karena itu, tepat tanggal 10 Mei 2024 kemarin, kita susun rencana untuk menjumpainya kembali.
Transportasi Ekonomis
Kita berangkat sore hari dari Jember menuju basecamp di Kalibaru, Banyuwangi. Tentu, untuk memperlemah anggaran, biaya transportasi harus disusun sehemat mungkin. Setelah berjam-jam berhitung, ada dua pertimbangan biaya. Pertama, memakai motor, hanya dengan mengisi bensin 40.000, sudah bisa pulang-pergi (PP) dari Mangli, menuju Kalibaru.
Yang kedua, memakai kereta, tampaknya lebih mahal. Hitung saja! harga tiket Rp.7.000. Jika dua orang dan dihitung PP, maka menjadi Rp. 28.000. Ditambah lagi, biaya ojek dari stasiun Kalibaru menuju basecamp pendakian. Biasanya 50.000/orang. Jadi jika 2 orang, bisa mencapai Rp. 200.000.
Sebagai pendaki berekonomi tersendat-sendat, tentu yang dipilih adalah jalur hemat. Memakai motor lebih cocok dengan saku. Kita pun berangkat dengan siul-siul karena urusan transportasi, PP Jember-Kalibaru, telah rampung.
Konsumsi Ekonomis
Setelah sampai basecamp, kita butuh makan. Itu artinya, perut juga butuh anggaran. Maklum, pendaki juga manusia, perlu asupan gizi yang mapan. Dalam urusan ini, tentu mesti ditekan sehemat mungkin.
Setelah kita survei, harga makanan termurah adalah Rp.15.000. Karena harus bermalam untuk melakukan persiapan yang matang selama di basecamp, tentu perlu dua kali makan.
Jika hanya sekali, kasian! Usus 12 jari bisa berteriak-teriak di tengah pendakian sambil berdendang lagu “keroncong”an.
Jadi untuk anggaran dua makan selama di basecamp, tercatat mengeluarkan biaya sebesar Rp.30.000. Semurah ini, badan sudah dapat terhindar dari rasa lapar dan asupan gizinya, sudah terpenuhi.
Selain itu, masih dalam urusan konsumsi, yang wajib dipikirkan adalah saat mendaki juga perlu asupan makanan dan minuman. Apalagi, di jalur pendakian Raung Sejati, tidak ada sumber mata air.
Jadi, harus juga dianggarkan pembelian air mineral yang perlu dibawa saat proses mendaki. Minimal, setiap orang wajib membawa 4 botol besar. Nah, saat saya mendaki, ternyata di basecamp sudah tersedia. Harga perbotolnya, Rp.8.000. Kita memutuskan membawa 8 botol, sehingga biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.64.000.
Tidak hanya air mineral, semiskin-miskin pendaki harus juga membawa bekal makanan, yang umumnya diistilahkan sebagai logistik. Untuk melengkapinya, kita pergi ke toko klontong yang berada sebelah basecamp. Lumayan, setelah dijumlahkan harganya hanya Rp. 300.000, itu pun sudah bisa dikonsumsi berdua.
Dengan demikian, total anggaran seluruh konsumsi adalah Rp. 394.000. Rp.30.000 untuk konsumsi di Basecamp danRp.364.000 untuk persediaan saat pendakian.
Guide Ekonomis
Tak terasa waktu sudah malam, tentu harus segara beristirahat agar badan fit saat pendakian esok hari. Ternyata, sebelum mata memejamkan kelopaknya, ada satu hal yang mestinya diselesaikan sebelum tidur. Kita harus menvalidkan guide yang akan menemani perjalanan di esok hari.
Akhirnya, kita bangun kembali dan begegas mensurvei dan memilih guide termurah. Tampaknya perlu biaya lagi sebesar Rp.400.000. Yang demikian, sudah paling murah. Sudah mendapat peralatan panjat dan guide profesional.
Setelah deal, kita pun dapat tidur dengan nyenyak, karena perasaan telah tenang. Sebab, urusan bekal hingga perlengkapan lain pendakian telah dalam genggaman.
Administrasi Ekonomis
Pagi pun tiba. Dengan hati yang dipenuhi semangat kerinduan, kita buka mata lebar-lebar untuk siap menikmati raung sejati yang eksotis.
Setelah semua pembekalan dikemas dan kita siap bergegas, eh ternyata, ada satu lagi yang belum selesai. Gunung Raung adalah kawasan konservasi. Mendakinya, harus dibekali izin resmi. Untuk itu, kita bergegas ke kantor perijinan.
Untungnya, semua persyaratan telah ada. Surat kesehatan dan bebas narkoba telah disiapkan sebelum berangkat kemarin. Kalau tidak salah, hanya keluar anggaran Rp. 15.000an.
Karena semua persyaratan rampung, akhirnya kita mudah mendapatkan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi). Tentu, juga dengan mengeluarkan biaya, yakni 60.000 perorang.
Semurah itu, para pendaki mendapatkan surat izin plus menerima nasehat-nasehat dan pengarahan penting. Istilah gaulnya, dibriefing. Proses demikian sangat penting dan wajib. Baik pendaki kaya raya atau pun yang seperti kita, wajib mendengarkan dan taat secara seksama.
Dengan demikian, urusan administrasi juga perlu dianggarkan dengan baik dan tepat. Dari pengalaman kita, setidaknya disiapkan perorang berkisar Rp.160.000. 60.000 untuk Simaksi dan Rp.100.000nya untuk ongkos ojek PP menuju Pos.
Jadi jika total biaya pendakian raung dengan jalur biaya ekonomis, perorang adalah 907.000. Atau, paling amannya, Rp.1.000.000.
Jika masih ada yang mengatakan mahal, itu artinya ada pendaki yang kondisi ekonominya lebih mengkhawatirkan dari kita.
- Penulis adalah Seorang Barista dan Akitivis Pencinta Alam Asal Wonoboyo Bondowoso.
- Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.