Menengok ulang Wajah Reformasi 1998

Rabu, 21 Mei 2025 - 12:19 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak peristiwa 21 Mei 1998, hari ketika Presiden Soeharto mengakhiri rezim otoriter yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Reformasi, simbol pergantian era menuju demokrasi dan kebebasan.

Namun, pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah: apakah kita telah benar-benar memahami keseluruhan wajah reformasi? Apakah narasi sejarah yang berkembang sudah mencakup semua aktor dan dinamika yang terjadi?

Narasi dominan selama ini menempatkan mahasiswa, intelektual, dan elite politik sebagai protagonis utama reformasi. Mereka yang tampil di depan kamera, menguasai mimbar kampus, dan memobilisasi massa. Namun, perspektif ini hanya satu sisi dari cerita.

Studi seperti jurnal Keterlibatan Rakyat Kecil dalam Gerakan Reformasi 1998 di Surabaya oleh Fajar Santoso (2024), membuka tabir lain yang selama ini kurang mendapat perhatian: peran signifikan rakyat kecil—penjual kerupuk, tukang becak, sopir angkot, pelajar, dan ibu rumah tangga—yang juga ikut bersuara dan bergerak di garis depan perjuangan.

Suara dan tindakan mereka, meski tak terorganisir secara formal, menjadi denyut nadi reformasi yang sesungguhnya. Mereka berbicara dari pengalaman hidup yang keras: tentang kenaikan harga sembako, kesulitan ekonomi, dan ketidakadilan sosial yang mendera.

Dengan cara mereka sendiri, melalui orasi sederhana di muka umum, lirik lagu yang diubah, atau aksi massa spontan, mereka mengekspresikan kerinduan akan perubahan nyata. Namun, sejarah resmi seringkali mengabaikan mereka, sehingga wajah reformasi menjadi kabur dan parsial.

Baca Juga :  Yayasan Sahabat Ulul Albab Gelar Halal Bihalal Harlah PMII ke-65, Prof. Hepni: UIN KHAS Jember Peletak Dasar NDP PMII

Menghadapi kenyataan ini, penting untuk merevisi cara kita memandang sejarah reformasi. Melampaui narasi vertikal yang berfokus pada elite, kita perlu mengadopsi perspektif horizontal yang mengakui kontribusi aktor-aktor di pinggiran.

Mereka adalah kelompok yang paling terdampak oleh krisis ekonomi dan politik 1998—yang kehilangan pekerjaan, kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, dan berjuang untuk kelangsungan hidup. Sayangnya, setelah rezim berganti, kelompok ini kembali terpinggirkan, sementara perubahan struktural yang dijanjikan belum sepenuhnya terwujud.

Hal ini menimbulkan pertanyaan krusial: Kepada siapa sebenarnya reformasi berpihak? Demokrasi yang tumbuh pascareformasi telah menghadirkan kebebasan politik dan ekspresi, namun ketimpangan sosial-ekonomi tetap menganga.

Para rakyat kecil yang pernah berjuang dalam gelombang massa kini banyak yang hanya menjadi penonton dalam dinamika politik nasional. Janji-janji kesejahteraan belum dapat mereka rasakan secara menyeluruh.

Lebih jauh lagi, dinamika politik pascareformasi memperlihatkan fenomena yang perlu mendapat perhatian serius. Tidak tertutup kemungkinan, sebagian aktivis reformasi yang dahulu turun ke jalan kini menduduki posisi strategis di pemerintahan dan parlemen. Dalam posisi tersebut, idealnya mereka memiliki kekuatan dan kesempatan untuk menegakkan nilai-nilai reformasi: keadilan, kebebasan, dan pemberdayaan rakyat. Namun, tidak sedikit yang terjebak dalam pragmatisme politik dan kompromi elit, sehingga cita-cita reformasi tereduksi menjadi retorika formal tanpa realisasi substantif.

Baca Juga :  Percaya? Wong Jowo Terlibat Sejak Era Kolonial Dalam Bisnis Narkoba

Fenomena ini menegaskan pentingnya pengujian konsistensi dan integritas para penguasa reformasi. Mereka dituntut untuk tidak melupakan akar perjuangan yang bersandar pada kepentingan rakyat kecil dan keadilan sosial.

Transformasi dari aktivis menjadi pejabat publik harus menjadi momentum pengukuhan komitmen terhadap perubahan inklusif dan berkelanjutan, bukan sekadar perubahan simbolis.

Dengan demikian, menengok ulang wajah reformasi bukan sekadar agenda historis, melainkan kerja moral yang harus menjadi fondasi pemahaman dan kebijakan hari ini. Perjuangan reformasi tidak berhenti pada pergantian rezim semata, melainkan berlanjut pada penciptaan masyarakat yang adil dan makmur.

Reformasi ‘98 adalah milik bersama—bukan hanya milik elit kampus dan politikus, tetapi juga milik tukang becak Tugiman, penjual kerupuk, pelajar, dan ibu rumah tangga yang meneriakkan tuntutan keadilan di jalanan. Memperjuangkan ingatan mereka berarti memperjuangkan hakikat reformasi itu sendiri.

Pada akhirnya, reformasi harus mampu menjawab pertanyaan fundamental: Apakah perubahan politik telah membawa perbaikan nyata bagi rakyat kecil yang dulu dan kini menjadi tulang punggung bangsa? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi tolok ukur sejauh mana cita-cita reformasi dapat terwujud secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Yayasan Sahabat Ulul Albab Gelar Halal Bihalal Harlah PMII ke-65, Prof. Hepni: UIN KHAS Jember Peletak Dasar NDP PMII
Program Makan Bergizi, Telah Lama Digagas di Jepang
Percaya? Wong Jowo Terlibat Sejak Era Kolonial Dalam Bisnis Narkoba
Geliat Kerajinan Sangkar Burung di Desa Dawuhan Mangli Jember, Mampu Bertahan Sejak Tahun 1955
Dua Periset UNIB Teliti K.H.R. Ach. Fawaid As’ad Situbondo, Ulama’ Politik Yang Menata Bangsa Dari Kehidupan Nyata
Akademisi UNESA Teliti Kasus Nenek Asyani, Dorong Perbaikan Hukum di Indonesia
Diteliti, Waly Al-Khalidy Berperan Besar dalam Desain Otoritas Agama di Aceh
Cerita Alexander The Great kepada Aristoteles tentang Penjelajahannya di India

Baca Lainnya

Rabu, 21 Mei 2025 - 12:19 WIB

Menengok ulang Wajah Reformasi 1998

Sabtu, 26 April 2025 - 00:52 WIB

Yayasan Sahabat Ulul Albab Gelar Halal Bihalal Harlah PMII ke-65, Prof. Hepni: UIN KHAS Jember Peletak Dasar NDP PMII

Senin, 7 April 2025 - 06:56 WIB

Program Makan Bergizi, Telah Lama Digagas di Jepang

Sabtu, 29 Maret 2025 - 04:57 WIB

Percaya? Wong Jowo Terlibat Sejak Era Kolonial Dalam Bisnis Narkoba

Jumat, 28 Februari 2025 - 17:02 WIB

Geliat Kerajinan Sangkar Burung di Desa Dawuhan Mangli Jember, Mampu Bertahan Sejak Tahun 1955

TERBARU

Historia

Menengok ulang Wajah Reformasi 1998

Rabu, 21 Mei 2025 - 12:19 WIB

Kolomiah

Ekoteologi Dan Iman Yang membumi

Selasa, 20 Mei 2025 - 20:22 WIB