Frensia.id- Ketika terdapat kontestasi pilihan kepala desa, sering kita mendengar istilah pulung. Jadi, pada malam terakhir sebelum pemilihan, apabila rumah calon kades di datangi seberkas cahaya biru yang turun tepat di rumahnya atau disampingnya, maka dapat dipastikan bahwa dia lah yang akan memegang tampuk kekuasaan di desa tersebut.
Cahaya itulah yang disebut sebagai pulung atau dalam istilah lain dikenal dengan wahyu kedaton. Dua istilah yang dulunya sangat akrab di telinga masyarakat Jawa tradisional, sekarang telah dimodernisir dengan sebuah konsep yang sebenarnya secara esensi sama, yaitu elektabilitas.
Konon dalam sejarah Jawa, Sultan Hadiwijaya atau yang juga dikenal dengan Joko Tingkir, tatkala kalah perang melawan anak angkatnya, Sutawijaya, penguasa baru Mataram Islam, kepulangannya dari penyerbuan tersebut, ia menyempatkan diri untuk ziarah ke makam Sunan Pandan Arang.
Sesuatu yang tidak pernah ia duga justru terjadi. Juru kunci makam memberikan penolakan dan tidak memberi izin kepada raja Jawa tersebut yang kalah perang. Menurutnya pulung raja telah berpindah.
Dalam tradisi Jawa, pulung menjadi alat legitimasi politik, bahwa siapapun yang kejatuhan akan memperoleh kemulyaan dan disegani. Begitu juga dengan sebaliknya, ketika pulung tersebut telah pergi, dengan mudahnya orang tersebut akan dicampakkan.
Hal ini dapat dilihat pada era dimana seseorang sedang berkuasa. Pada waktu presiden Soekarno sedang berjaya, sederet atribut ia sandang sebagai simbol bahwa dirinya memiliki pengaruh yang besar karena kekuasaannya. Semisal, sang ratu adil yang bisa mengatasi krisis dari keterjajahan menuju kemerdekaan, pemimpin besar revolusi, penyambung lidah rakyat dan seniman agung.
Ketika kekuasaan beralih kepada Presiden Soeharto, maka atribut tersebut bergeser pula. Preseiden kedua tersebut mendapat gelar bapak pembangunan, jenderal besar yang dipuja selama 32 tahun.
Sama halnya Soekarno tidak berbeda dengan yang di alami Soeharto, karisma yang dijunjung tinggi ketika berkuasa semuanya berdasar mitos. Sekali ia jatuh dari panggung kekuasaan, yang mana artinya pulung tersebut pergi, maka segera mungkin kehormatan yang selama ini ia terima turut sirna.
Secara jelas dapat dilihat, pada kontestasi Pemilu, Pilkada ataupun Pilkades. Mereka yang dulunya memperoleh anugerah sebuah jabatan, lantas kalah dalam kontestasi, seketika itu pula ia dicampakkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang masih dipersalahkan.
Sebagai sesuatu yang mistis dan membimbing pemahaman masyarakat untuk meproduksi hal yang dimitoskan, pulung sebagai sesuatu yang tidak bisa diakses secara faktual dimana kebenarannya tidak dapat diakui bersama, membuka kemungkinan kepada siapapun untuk memperdaya asumsi publik bahwa calon yang ia dukung telah mendapatkan mandat langit, dengan mengatakan bahwa pada malam sebelum pemilihan, dirinya melihat cahaya yang turun ke rumah sang calon.
Tidak jauh berbeda dengan permainan angka-angka survey, masing-masing pendukung seorang calon akan memberikan data bahwa sosok yang didukung mempunyai elektabilitas di tengah masyarakat.