Frensia.id- WS Rendra adalah penyair, dramawan, aktor dan sutradara teater yang telah berpulang 15 tahun lalu tepatnya pada tanggal 6 Agustus 2009. Sajak-sajaknya yang kembali dibacakan dan diputar berulang-ulang di platform Youtube dan sebagainya menandai bahwa penyair periode angkatan 50 ini akan terus dikenang.
Sekalipun dirinya sudah tiada tetapi lewat syair-syairnya yang dikenal cukup dalam, bernas dan berani terhadap kekuasaan seolah-olah sosoknya tak akan pernah lekang oleh waktu.
Pada tanggal 25 November 2013 Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membuat sebuah acara yang diberi tema “Napak Tilas Sastra: WS. Rendra” yang bertempat di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Pada kesempatan tersebut sastrawan Remy Silado mendapatkan kehormatan untuk memberikan sebuah orasi yang diberinya judul “ Kawindra Wafat…..Hidup Kawindra!!”.
Seperti yang dijelaskan oleh penulis novel Ca-Bau-Kan di podium DKJ, istilah Kawindra yang digunakan dalam judul naskah yang ia karang, merujuk kepada sosok besar yang ia kenang dan segani dengan penuh hormat.
Terminologi Kawindra merupakan bahasa kawi yang mempunyai arti penyair besar atau bisa pula disebut dengan raja pujangga.
“dengan rasa hormat yang sepatutnya, mohon ijin saya ingin menyebut WS.Rendra sebagai Kawindra”, jelasnya pada acara tersebut.
Dalam perjalanan hidup Rendra, selain menghasilkan karya yang sangat produktif mulai dari kumpulan puisi, filmografi, drama dan beberapa penghargaan yang cukup prestisius.
WS.Rendra juga mempunyai beberapa kontroversi, salah satunya dengan menganut iman Islam. Hal tersebut disinyalir mengandung persoalan karena diduga keislamannya adalah motif agar mendapatkan pengesahan untuk poligami.
Sebelumnya, Rendra menikah dengan sosok perempuan bernama Sunarti Suwandi pada tahun 1959. Sejak pertemuannya dengan Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat yang awalnya berniat untuk belajar di bengkel teaternya, lantas kemudian dipersunting oleh sang guru untuk menjadi istri kedua.
Pada momen kali ini, tampak keberanian penyair yang mendapat julukan “Si Burung Merak”, perempuan yang ia nikahi tersebut merupakan seorang putri darah biru keturunan keraton Yogyakarta. Lebih-lebih setelah pernikahannya yang kedua, Rendra kembali mempersunting seorang perempuan untuk menjadi istrinya yang ketiga, yaitu Ken Zuraida.
Untuk pernikahannya yang ketiga, Rendra harus kehilangan istrinya yang kedua Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat setelah digugat cerai pada tahun 1979, kemudian disusul oleh Sunarti pada tahun 1981.
Perceraian Rendra dengan kedua istrinya, menjadi bukti bahwa keislamannya memang benar-benar tulus. Hal tersebut dibuktikan dengan tetapnya iman Islam hingga akhir hayatnya. Ia tidak pernah berpaling, justru menjadi seorang muslim yang taat.
Dalam sebuah kesaksian akan keislamannya Rendra pernah mengatakan,”saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain, sehingga hak individu saya merasa dihargai”.
Keislaman Rendra juga disimbolkan dengan perubahan nama, Willibrodus Surendra Broto Narendra atau yang dikenal WS Rendra diubahnya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra, tanpa harus membuang huruf awalnya.
Menjelang hari-hari terakhir Rendra, ia sempatkan untuk menulis sebuah puisi di tengah-tengah perawatan akibat penyakit jantung koroner.
Puisi tersebut mempunyai nuansa rasa penyerahan diri dan pengabdian kepada Allah SWT, Rendra sendiri tidak sempat memberinya judul, tetapi lebih mudah diingat dengan penggalan sajaknya,”Tuhan, Aku Cinta Padamu”. Berikut larik-larik sajak yang ia tulis pada tanggal 31 Juli 2009 di rumah sakit Mitra Husada.
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu