Mengkritik Penelitian Bahlil, “Model Baru Hilirisasi Nikel” Yang Ambisius

Kamis, 17 Oktober 2024 - 12:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Mengkritik Penelitian Bahlil, “Model Baru Hilirisasi Nikel” Yang Ambisius (Sumber: Grafis Imam/Canva)

Gambar Mengkritik Penelitian Bahlil, “Model Baru Hilirisasi Nikel” Yang Ambisius (Sumber: Grafis Imam/Canva)

Oleh: Mashur Imam*

Frensia.id- Baru-baru ini Bahlil Lahadalia dikokohkan jadi Doktor di Universitas Indonesia. Anehnya banyak pakar yang mengangganggapnya penuh kepentingan politik. Penulis jadi penasaran sekeren apa penelitian Menteri cool Raja Mulyono ini.

Setelah membaca banyak hal, ternyata kesannya hampir bersenada dengan guru-guru besar yang mengkritisi sebelumnya. Penulis membaca riset Bahlil yang berjudul “Nickel Downstreaming in Indonesia: Reinventing Sustainable Industrial Policy and Developmental State in Building the EV Industry in ASEAN”. Gagasannya sok keren dan cukup ambisius.  

Ia mencoba melukiskan strategi hilirisasi nikel di Indonesia sebagai model baru negara pembangunan berkelanjutan. Katanya sih, ini bakal jadi solusi ajaib buat ekonomi, lingkungan, dan ketimpangan sosial. Tapi benarkah begitu? Penulis mengkajinya dengan santai sambil minum kopi, agar tak terkesan marah-marah, sebab ada banyak yang terlihat lucu.

Hilirasasi Nikel Sustainable? Ironi!

Kalau Bahlil pikir hilirisasi nikel ini bakal bikin bumi jadi lebih hijau, mungkin perlu cek ulang definisi “hijau” itu. Ia mengatakan bahwa hilirisasi ini mendukung keberlanjutan dengan produksi baterai kendaraan listrik.

Keren ya? Iya, tapi di atas kertas! Kenyataannya, nikel ini diambil dari tambang. Bekas alam yang ditambang seperti habis kena sapu angin topan. Deforestasi besar-besaran, tanah gersang, air tercemar, dan polusi yang bikin mual. Belum lagi, pabrik peleburan nikel masih pakai energi batu bara. Jadi, jika bicara soal “energi terbarukan”, namun pakai bahan bakar paling kotor di bumi. Ini Ironi level dewa.

Selain itu, penelitian ini juga mengklaim bahwa hilirisasi nikel membantu mengatasi ketimpangan sosial, terutama di Indonesia Timur. Kenyataannya, masyarakat lokal yang tinggal di sekitar tambang justru merasakan pahitnya eksploitasi. Mereka kehilangan tanah, air tercemar, dan kesempatan kerja yang layak. Alih-alih memperbaiki nasib mereka, mereka hanya jadi penonton dari panggung megah industri yang penuh polusi.

Baca Juga :  Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi

Jika demikian, yang untung besar siapa? Ya jelas, konglomerat! Kalau ini yang disebut inklusi sosial, mungkin perlu revisi Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Hilirasasi Nikel dan Kemandirian Tabu

Bahlil menggambarkan hilirisasi sebagai langkah mandiri dan proaktif dari pemerintah Indonesia. Tapi tunggu dulu, proaktif di mana? Sebagian besar teknologi, modal, dan bahkan kepemilikan tambang dikuasai oleh perusahaan asing, terutama dari Tiongkok. Jadi, Indonesia ini lebih kayak penonton yang bertepuk tangan sambil berharap ada remah-remah keuntungan yang jatuh ke lantai. Bukannya jadi penggerak ekonomi, Indonesia justru semakin bergantung. Alih-alih jadi pahlawan, lebih mirip ultramen yang selalu ingin tampil pahlawan negeri, tapi lampu di dadanya sudah merah kelap-kelip, telah tak punya kekuatan super.

Bahlil optimis banget soal peran hilirisasi nikel dalam transisi energi global. Tapi Indonesia mengalami banyak masalah soal baterai Listrik. Pengembangan energi terbarukannya lemah, masih pakai batu bara. Jadi percuma mengirim nikel buat negara-negara lain untuk bahan mobil listrik mereka, sementara kita masih duduk manis nunggu truk-truk batu bara lewat tiap hari. Ini mirip seperti jual sepatu buat lari ke seluruh dunia, tapi tak bisa dilakukan karena sepatunya habis terjual.

Baca Juga :  Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik

Hilirisasi Lebih Banyak PR-nya daripada Hasilnya

Bahlil tampaknya terlalu bersemangat mengangkat hilirisasi ini sebagai solusi dari segala permasalahan bangsa. Padahal, di lapangan, masalah lingkungan dan sosialnya nggak sedikit. Apalagi, apakah kita benar-benar siap menghadapi pasar global baterai EV yang persaingannya keras? Masalah eksternalitas negatif lingkungan, konflik sosial, dan ketergantungan besar pada negara asing kayaknya butuh lebih dari sekadar optimisme.

Kesimpulannya, strategi hilirisasi nikel ini mirip sekali dengan janji-janji iklan pembersih muka. Sebagai wacana kedengarannya bersinar, tapi realitasnya belum tentu sebersih itu. Bermimpi jadi model negara pembangunan berkelanjutan, malah justru masih terjebak dalam pola lama: sumber daya alam dieksploitasi, lingkungan rusak, masyarakat sekitar terpinggirkan, dan keuntungan besar diambil pihak luar.

Kalau mau benar-benar jadi negara yang mandiri dan berkelanjutan, pemerintah perlu kerja keras untuk memastikan kebijakan ini lebih dari sekadar janji manis. Jadi, daripada cuma jual mimpi dengan gagasan kosong soal baterai kendaraan listrik, Bahlil sebaiknya mulai berinvestasi juga pada infrastruktur energi terbarukan dan keberlanjutan yang lebih real, bukan terus menerus berdalih-dalih soal nikel. Sebab, kalau tidak, cuma akan jadi pemasok murah di rantai pasokan global, sementara orang lain yang menikmati manisnya teknologi hijau.

*Penulis adalah Penanggung Jawab Dar Al Falasifah Institute, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Cendekia Insani dan Sekretaris Umum Lakpesdam PCNU Jember
Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik
Menjaga Alam, Merawat Kehidupan
Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi

Baca Lainnya

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Jumat, 21 Maret 2025 - 23:34 WIB

Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

Kamis, 20 Maret 2025 - 22:06 WIB

Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 

Rabu, 19 Maret 2025 - 05:57 WIB

Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi

TERBARU

Kolomiah

Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan

Kamis, 10 Apr 2025 - 18:09 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid

Rabu, 9 Apr 2025 - 14:01 WIB

Gambar Real Madrid: Sang Juara 15 UCL, Dipermalukan Arsenal! (Sumber: Grafis Frensia)

Sportia

Real Madrid: Sang Juara 15 UCL, Dipermalukan Arsenal!

Rabu, 9 Apr 2025 - 08:56 WIB

Religia

Setelah Ramadhan, Apa Kabar Ibadah Kita?

Rabu, 9 Apr 2025 - 07:16 WIB