Oleh: Mashur Imam*
Frensia.id- Baru-baru ini Bahlil Lahadalia dikokohkan jadi Doktor di Universitas Indonesia. Anehnya banyak pakar yang mengangganggapnya penuh kepentingan politik. Penulis jadi penasaran sekeren apa penelitian Menteri cool Raja Mulyono ini.
Setelah membaca banyak hal, ternyata kesannya hampir bersenada dengan guru-guru besar yang mengkritisi sebelumnya. Penulis membaca riset Bahlil yang berjudul “Nickel Downstreaming in Indonesia: Reinventing Sustainable Industrial Policy and Developmental State in Building the EV Industry in ASEAN”. Gagasannya sok keren dan cukup ambisius.
Ia mencoba melukiskan strategi hilirisasi nikel di Indonesia sebagai model baru negara pembangunan berkelanjutan. Katanya sih, ini bakal jadi solusi ajaib buat ekonomi, lingkungan, dan ketimpangan sosial. Tapi benarkah begitu? Penulis mengkajinya dengan santai sambil minum kopi, agar tak terkesan marah-marah, sebab ada banyak yang terlihat lucu.
Hilirasasi Nikel Sustainable? Ironi!
Kalau Bahlil pikir hilirisasi nikel ini bakal bikin bumi jadi lebih hijau, mungkin perlu cek ulang definisi “hijau” itu. Ia mengatakan bahwa hilirisasi ini mendukung keberlanjutan dengan produksi baterai kendaraan listrik.
Keren ya? Iya, tapi di atas kertas! Kenyataannya, nikel ini diambil dari tambang. Bekas alam yang ditambang seperti habis kena sapu angin topan. Deforestasi besar-besaran, tanah gersang, air tercemar, dan polusi yang bikin mual. Belum lagi, pabrik peleburan nikel masih pakai energi batu bara. Jadi, jika bicara soal “energi terbarukan”, namun pakai bahan bakar paling kotor di bumi. Ini Ironi level dewa.
Selain itu, penelitian ini juga mengklaim bahwa hilirisasi nikel membantu mengatasi ketimpangan sosial, terutama di Indonesia Timur. Kenyataannya, masyarakat lokal yang tinggal di sekitar tambang justru merasakan pahitnya eksploitasi. Mereka kehilangan tanah, air tercemar, dan kesempatan kerja yang layak. Alih-alih memperbaiki nasib mereka, mereka hanya jadi penonton dari panggung megah industri yang penuh polusi.
Jika demikian, yang untung besar siapa? Ya jelas, konglomerat! Kalau ini yang disebut inklusi sosial, mungkin perlu revisi Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hilirasasi Nikel dan Kemandirian Tabu
Bahlil menggambarkan hilirisasi sebagai langkah mandiri dan proaktif dari pemerintah Indonesia. Tapi tunggu dulu, proaktif di mana? Sebagian besar teknologi, modal, dan bahkan kepemilikan tambang dikuasai oleh perusahaan asing, terutama dari Tiongkok. Jadi, Indonesia ini lebih kayak penonton yang bertepuk tangan sambil berharap ada remah-remah keuntungan yang jatuh ke lantai. Bukannya jadi penggerak ekonomi, Indonesia justru semakin bergantung. Alih-alih jadi pahlawan, lebih mirip ultramen yang selalu ingin tampil pahlawan negeri, tapi lampu di dadanya sudah merah kelap-kelip, telah tak punya kekuatan super.
Bahlil optimis banget soal peran hilirisasi nikel dalam transisi energi global. Tapi Indonesia mengalami banyak masalah soal baterai Listrik. Pengembangan energi terbarukannya lemah, masih pakai batu bara. Jadi percuma mengirim nikel buat negara-negara lain untuk bahan mobil listrik mereka, sementara kita masih duduk manis nunggu truk-truk batu bara lewat tiap hari. Ini mirip seperti jual sepatu buat lari ke seluruh dunia, tapi tak bisa dilakukan karena sepatunya habis terjual.
Hilirisasi Lebih Banyak PR-nya daripada Hasilnya
Bahlil tampaknya terlalu bersemangat mengangkat hilirisasi ini sebagai solusi dari segala permasalahan bangsa. Padahal, di lapangan, masalah lingkungan dan sosialnya nggak sedikit. Apalagi, apakah kita benar-benar siap menghadapi pasar global baterai EV yang persaingannya keras? Masalah eksternalitas negatif lingkungan, konflik sosial, dan ketergantungan besar pada negara asing kayaknya butuh lebih dari sekadar optimisme.
Kesimpulannya, strategi hilirisasi nikel ini mirip sekali dengan janji-janji iklan pembersih muka. Sebagai wacana kedengarannya bersinar, tapi realitasnya belum tentu sebersih itu. Bermimpi jadi model negara pembangunan berkelanjutan, malah justru masih terjebak dalam pola lama: sumber daya alam dieksploitasi, lingkungan rusak, masyarakat sekitar terpinggirkan, dan keuntungan besar diambil pihak luar.
Kalau mau benar-benar jadi negara yang mandiri dan berkelanjutan, pemerintah perlu kerja keras untuk memastikan kebijakan ini lebih dari sekadar janji manis. Jadi, daripada cuma jual mimpi dengan gagasan kosong soal baterai kendaraan listrik, Bahlil sebaiknya mulai berinvestasi juga pada infrastruktur energi terbarukan dan keberlanjutan yang lebih real, bukan terus menerus berdalih-dalih soal nikel. Sebab, kalau tidak, cuma akan jadi pemasok murah di rantai pasokan global, sementara orang lain yang menikmati manisnya teknologi hijau.
*Penulis adalah Penanggung Jawab Dar Al Falasifah Institute, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Cendekia Insani dan Sekretaris Umum Lakpesdam PCNU Jember
Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.