Frensia. Id “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 102)
Dialog antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah salah satu fragmen paling indah dalam sejarah peradaban profetik. Ia bukan hanya pertemuan antara ayah dan anak, melainkan pertemuan antara langit dan bumi, antara otoritas ilahi dan etika manusiawi, antara wahyu dan musyawarah. Jika ditilik secara tekstual, maka Ibrahim memiliki otoritas penuh untuk langsung mengeksekusi perintah Allah. Tapi yang ia lakukan justru sebaliknya: ia membuka ruang dialog.
Dalam peristiwa ini, yang ditampilkan oleh Nabi Ibrahim bukan sekadar adegan antara hamba dan Tuhan, melainkan juga seni etis dalam mendidik, memimpin, dan mengasuh. Ia tidak hanya melibatkan Ismail sebagai objek keputusan, tapi mengangkatnya menjadi subjek moral.
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah pembelajaran paling luhur tentang bagaimana anak tidak sekadar dijadikan pengikut buta, tapi juga pemikir yang turut mengambil bagian dalam keputusan besar yang menyangkut hidup dan mati dirinya. Ini adalah bentuk radikal dari partisipasi anak dalam spiritualitas keluarga.
Dialog itu menandai bahwa dalam agama, ketaatan yang hakiki harus berangkat dari kesadaran, bukan dari keterpaksaan. Ibrahim memberi ruang kepada Ismail untuk berpikir dan memilih. Dan Ismail pun memilih: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan mendapatiku, insya Allah, termasuk orang-orang yang sabar.”
Itulah kenapa pengorbanan ini menjadi pengorbanan bersama. Jika hanya Ibrahim yang taat, itu adalah kepatuhan personal. Tapi dengan partisipasi dialogis dari Ismail, maka ia menjelma menjadi ketaatan kolektif.
Dari kacamata filsafat politik profetik, dialog ini secara halus mengkritik model kepemimpinan yang otoriter, yang menjadikan kehendak “wahyu” sebagai dalih untuk menyingkirkan musyawarah. Ibrahim bisa saja berkata, “Aku ini Nabi, aku diperintah langsung oleh Allah, tidak perlu diskusi!” Tapi tidak.
Ia memilih untuk membuka dialog. Ini adalah pelajaran besar bagi siapa pun yang merasa punya otoritas—apakah itu pemimpin agama, pemimpin negara, atau orang tua dalam rumah tangga: bahwa otoritas yang agung justru ditandai dengan kesediaan mendengarkan dan melibatkan yang dipimpin.
Apa yang tidak dituliskan secara literal tapi bisa ditangkap secara batiniah adalah: keraguan halus dan cinta mendalam dari Ibrahim. Dalam ketaatannya, ia masih menyisakan ruang empati. Maka pertanyaan Ibrahim kepada Ismail bukan hanya soal persetujuan, tapi juga ungkapan cinta yang sangat manusiawi: “Anakku, aku melihat bahwa aku harus menyembelihmu, bagaimana menurutmu?” Itulah muru’ah seorang nabi. Bahkan dalam perintah yang seberat itu, ia tidak kehilangan rasa, tidak kehilangan kelembutan, tidak kehilangan cinta.
Dialog Ibrahim-Ismail adalah madrasah spiritual, tempat manusia belajar bahwa dalam agama pun ada ruang musyawarah, dalam ketaatan ada cinta, dan dalam perintah ilahi pun, manusia tetap diperlakukan sebagai makhluk yang merdeka. Inilah wajah Islam yang paling otentik—agama yang menjunjung tinggi ketaatan, tanpa menindas kebebasan; agama yang menjunjung tinggi wahyu, tanpa membunuh akal dan cinta.
Maka jika hari ini seni berdialog hilang, barangkali yang hilang bukan hanya keterampilan berbicara, melainkan sesuatu yang sangat mendasar dari warisan Ibrahim: bahwa wahyu pun, butuh ruang konfirmasi, bukan karena Tuhan butuh, tapi karena manusia memang diciptakan untuk diajak bicara.*