Menyoal Media dan Etika Kebebasan Berpendapat di Balik #BoikotTrans7

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 07:31 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Badrut Tamam*

Frensia.id – Fenomena #BoikotTrans7 menjadi momentum penting untuk merefleksikan batas antara kebebasan berpendapat dan tanggung jawab etika media. Reaksi publik, terutama dari kalangan pesantren, bukan sekadar soal sensitifitas keagamaan. Reaksi publik, terutama dari kalangan pesantren, bukan sekadar soal sensitifitas keagamaan, melainkan bentuk moral protest terhadap cara media membingkai simbol-simbol budaya yang sarat makna spiritual.

Tayangan yang menampilkan praktik ‘cium tangan santri kepada kiai’ dan ‘pemberian amplop’ dianggap menistakan tradisi luhur. Bukan karena pesantren anti-kritik, tetapi karena narasi yang dibangun tanpa memahami dan meindahkan konteks nilai dan filosofi yang melatarinya.

Bagi kalangan pesantren, kritik bukan hal tabu. Mereka terbuka terhadap wacana publik, tetapi menolak ketika kritik itu berubah menjadi stigma. Dalam khazanah Islam, kebebasan berbicara selalu diiringi adab al-hiwar, etika berdialog yang menjaga kehormatan lawan bicara. Oleh karena itu, reaksi #BoikotTrans7 harus dipahami sebagai moral correction—bukan bentuk anti-kebebasan—terhadap cara komunikasi yang mengabaikan adab.

Secara konstitusional, kebebasan berpendapat dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun, kebebasan itu bukan tanpa batas. Ia tunduk pada norma hukum, moral, dan kesusilaan, UU 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan insan media menghormati nilai agama dan menjamin hak jawab pihak yang dirugikan pemberitaan. Hal ini diperkuat dalam UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang melarang tayangan melecehkan nilai agama, merendahkan martabat manusia, atau menyinggung kelompok sosial tertentu.

Baca Juga :  "Dosa-Dosa" Polri: Reformasi atau Transformasi?

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI, khususnya Pasal 6–8, mengafirmasi kewajiban media menghormati keberagaman budaya, menjaga kesopanan, dan menghindari distorsi representasi simbol keagamaan. Dengan demikian, kasus #BoikotTrans7 bukan sekadar kegaduhan sosial, melainkan indikasi kegagalan media melakukan cultural reading terhadap komunitas yang menjadi objek pemberitaan.

Framing, seperti dikemukakan Robert Entman, menunjukkan peran media yang lebih dari sekadar mencerminkan realitas. Media juga membentuk realitas itu melalui pilihan narasi, bahasa, dan sudut pandang tertentu.

Dalam kasus Trans7, cara pesantren ditampilkan sebagai institusi ‘mistik’, ‘tertutup’, atau ‘tradisional’ menyederhanakan kompleksitasnya sebagai pusat pembelajaran moral dan kebudayaan Islam Nusantara. Gambaran semacam ini menimbulkan luka simbolik, bukan karena fakta disembunyikan, tetapi karena konteks dan nilai spiritualnya diabaikan.

Lebih jauh, Teori Multikulturalisme mengingatkan bahwa dalam masyarakat plural, kebebasan berekspresi tidak boleh digunakan untuk menstigmatisasi komunitas tertentu. Tradisi pesantren, dengan nilai adab, tawadhu’, dan keikhlasan, adalah bagian integral dari warisan moral bangsa. Ketika media gagal menampilkan nilai-nilai tersebut secara proporsional, yang terjadi bukan sekadar miskomunikasi, tetapi pelanggaran prinsip keadilan budaya.

Tanggung jawab sosial media, sebagaimana dikemukakan Kovach dan Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, menegaskan bahwa tugas utama jurnalisme bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi memahami makna sosial dari fakta itu. Dalam kasus #BoikotTrans7, kegagalan melakukan moral reading terhadap tradisi pesantren menunjukkan absennya dimensi empatik dalam jurnalisme. Media mestinya tidak hanya bertanya “apa yang terjadi”, tetapi juga “apa maknanya bagi komunitas yang hidup di dalamnya.

Baca Juga :  Ijazah Palsu dan Misteri Dunia Kerja

Media seharusnya menjadi arena terbuka di mana berbagai pandangan hidup bisa berinteraksi secara setara, seperti dikemukakan Habermas dalam konsep Ruang Publik. Ruang itu kehilangan makna ketika suara pesantren—representasi moral Islam Nusantara—direduksi menjadi konstruksi wacana yang tak memahami latar budayanya. Yang diperlukan bukan sensor terhadap media, tetapi etika komunikasi publik yang lebih inklusif, partisipatif, dan menghormati keberagaman nilai.

Akhirnya, kebebasan berpendapat harus dimaknai sebagai sarana membangun understanding, bukan misunderstanding. Demokrasi sejati bukanlah kebebasan tanpa arah, tetapi harmoni antara hak berbicara dan kewajiban menghormati.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, media hendaknya menjadi jembatan pengertian antara modernitas dan tradisi, bukan dinding pemisah. Komunitas pesantren tidak meminta perlakuan istimewa, hanya keadilan dalam cara mereka dipahami. Dalam dunia yang semakin gaduh oleh opini, mengerti sebelum menghakimi adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab moral.*

*Dosen dan Ketua UPEM (Unit Penerbitan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat) Fakultas Syariah UIN KHAS Jember

Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Narasi Pincang Pesantren
“Dosa-Dosa” Polri: Reformasi atau Transformasi?
Ijazah Palsu dan Misteri Dunia Kerja
Arogansi Demonstrasi: Antara Aspirasi atau Pemecah Belah Bangsa
“Jangan Menghantam DPR”: Retaknya Independensi MK
Membaca Hukum Lewat Kacamata Hans Kelsen
Melestarikan Jaringan
Menjinakkan Keliaran

Baca Lainnya

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 07:31 WIB

Menyoal Media dan Etika Kebebasan Berpendapat di Balik #BoikotTrans7

Selasa, 14 Oktober 2025 - 12:22 WIB

Narasi Pincang Pesantren

Sabtu, 27 September 2025 - 06:55 WIB

“Dosa-Dosa” Polri: Reformasi atau Transformasi?

Senin, 22 September 2025 - 15:24 WIB

Ijazah Palsu dan Misteri Dunia Kerja

Selasa, 2 September 2025 - 16:54 WIB

Arogansi Demonstrasi: Antara Aspirasi atau Pemecah Belah Bangsa

TERBARU

Kolomiah

Sesat Nalar Netizen atas Pesantren

Jumat, 17 Okt 2025 - 15:37 WIB