Frensia.id – Meresahkan! Peneliti dari Universitas Sebelas Maret (UNS) mengungkap kelemahan mendasar dalam regulasi pemberantasan judi online di Indonesia. Sebuah temuan yang memantik perhatian.
Davin Gerald Parsaoran Silalahi, Ismunarno, dan Diana Lukitasari, melalui riset terbaru mereka yang diterbitkan pada tahun 2024 dalam jurnal APPIHI, menyoroti celah dalam beberapa aturan hukum yang dianggap tidak konsisten dan berpotensi menjadi hambatan dalam upaya pemberantasan judi online.
Penelitian ini menganalisis berbagai regulasi, seperti Pasal 303 dan 303 Bis KUHP, Pasal 426 dan 427 KUHP baru, serta Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Salah satu sorotan utama adalah penggunaan diksi “izin” dalam aturan tersebut. Menurut para peneliti, penggunaan kata ini menimbulkan kejanggalan hukum yang serius.
Pasalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Pasal 2, semua bentuk perjudian dilarang keras, sementara dalam KUHP justru tercantum bahwa perjudian dapat dilakukan dengan izin penguasa.
Diksi ‘izin’ di dalam KUHP ini membingungkan dan bertentangan dengan semangat pemberantasan perjudian. Mereka menyoroti fakta bahwa meskipun pemerintah tidak pernah memberikan izin untuk perjudian, celah ini membuka peluang untuk penyalahgunaan di masa depan.
Kejanggalan ini, menurut mereka, menuntut perhatian serius pemerintah dan badan legislatif agar segera memperjelas maksud dan tujuan penggunaan istilah tersebut.
Lebih lanjut, penelitian ini mengkritik ketidakkonsistenan hierarki aturan hukum. Jika Peraturan Pemerintah melarang perjudian tanpa syarat, tetapi KUHP membuka celah dengan izin, maka integritas aturan hukum dipertaruhkan.
Pemerintah harus tegas. Jika serius ingin memberantas judi, aturan yang tumpang tindih seperti ini harus dihapuskan.
Masalah lainnya terletak pada implementasi sanksi. Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE memang sudah mengatur ancaman pidana terhadap pelaku judi online, baik berupa denda maupun hukuman penjara.
Namun, efektivitasnya diragukan jika celah hukum terkait “izin” tidak ditutup terlebih dahulu.
Tanpa reformasi ini, menurut para peneliti, upaya pemberantasan judi hanya menjadi formalitas tanpa kekuatan nyata.
Kajian ini menjadi alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat. Judi online kian marak di Indonesia, dan tanpa hukum yang kokoh serta konsisten, upaya pemberantasannya bisa saja gagal.
Tidak hanya soal hukum, hal ini menyangkut integritas moral dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kini, bola panas berada di tangan pemerintah dan DPR untuk segera memperbaiki celah-celah ini demi memberantas perjudian hingga ke akarnya. Apakah mereka akan bertindak, atau membiarkan masalah ini terus berlarut? Waktu akan menjawab.