Frensia.id – Metode mengkritik penguasa ternyata memiliki cara dan adab tersendiri. Hal ini menjadi perhatian sejumlah akademisi Universitas Nurul Jadid (UNUJA) yang meneliti pemikiran KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha’.
Penelitian ini dipimpin oleh Ach. Zayyadi bersama tim akademisi dan hasilnya telah dipublikasikan dalam jurnal Ulunnuha edisi 2024.
Penelitian ini mengungkap bagaimana Gus Baha’ menawarkan pendekatan yang santun dan konstruktif dalam menyampaikan kritik kepada penguasa. Inspirasi pemikiran ini diambil dari kisah Nabi Musa dan Fir’aun yang tertuang dalam QS. Thaha [20]: 44.
Ayat tersebut memerintahkan Nabi Musa untuk menyampaikan peringatan kepada Fir’aun dengan qaulan layyinan atau perkataan yang lembut. Gus Baha’ menekankan bahwa sikap kritis terhadap penguasa harus dilakukan dengan cara yang tepat agar tujuan dari kritik dapat tercapai tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.
Menurut Gus Baha’, cara yang kurang bijak dalam mengkritik penguasa justru dapat membuat situasi menjadi lebih buruk. Misalnya, kritik yang dilontarkan secara terbuka dan kasar bisa memicu perasaan malu atau gengsi pada pihak yang dikritik.
Hal ini dapat membuat penguasa bersikap defensif dan menutup diri dari masukan yang sebenarnya bermanfaat. Dalam sejarah, fenomena ini pernah terjadi di zaman Harun Al-Rasyid, di mana kritik keras yang disampaikan secara terbuka malah memicu ketegangan antara penguasa dan pihak yang mengkritik.
Dari penelitian tersebut, Gus Baha’ menawarkan empat formulasi utama dalam mengkritik penguasa agar kritik dapat diterima dengan baik dan berdampak positif.
Pertama, hindari mengkritik penguasa di depan umum. Kritik yang disampaikan secara terbuka dan disaksikan banyak orang sering kali justru menimbulkan rasa gengsi dan perlawanan dari pihak yang dikritik.
Kedua, gunakan bahasa yang efektif, sopan, dan tepat sasaran. Kritik dengan bahasa yang lembut namun tegas dinilai lebih efektif dalam menyampaikan pesan.
Ketiga, kritik harus disampaikan secara bertahap. Gus Baha’ berpendapat bahwa perubahan tidak bisa terjadi secara instan. Menyampaikan kritik secara bertahap memberikan ruang bagi penguasa untuk mencerna dan merespons masukan dengan lebih bijak.
Terakhir, kritik harus bersifat konstruktif. Kritik yang hanya berisi celaan atau serangan pribadi tidak akan membawa perubahan apa pun. Sebaliknya, kritik harus disertai dengan solusi atau saran yang membangun.
Metode ini dinilai relevan dalam konteks kekinian, di mana dinamika sosial dan politik sering kali diwarnai oleh polarisasi dan ketegangan.
Gus Baha’ memberikan teladan bahwa kritik adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, namun harus dilakukan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan.