Frensia.id – Nuzulul Qur’an menjadi salah satu momen ‘maha’ penting bagi umat Islam, karena malam ini merupakan diturunkannya wahyu pertama kali bagi Rasulullah saw. Hal ini terjadi pada tanggal 17 ramadhan dan surat yang turun pertama kali adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5 ketika Rasulullah berkontemplasi di Gua hira, Jabal Nur.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah(2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, (3) Yang mengajar (manusia) dengan pena. (4) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (5) Q.S al-‘Alaq ayat 1-5
Prof. Nasaruddin Umar menuturkan iqra’ adalah fi’il amar, tidak ada kitab suci yang diawali dengan iqra’, kitab zabur, taurat, injil tidak dimulai dengan iqra’, satu-satunya kitab suci yang diawali dengan iqra’ adalah hanya al-Qur’an.
Tidak hanya sampai disitu, perintah iqra’ ini sangat menarik karena perintah ini ditujukan kepada orang yang belum bisa membaca dan menulis pada waktu itu. Lebih menarik lagi fi’il amar (iqra’) ini tidak menyebutkan maf’ulnya, biasanya jika ada fiil amar itu ada maf’ulnya.
Sehingga Rasulullah bertanya kepada Jibril, Ma Ana bi Qaari? Sekalipun ada buku atau ada objek yang mau dibaca tetap tidak bisa kebaca karena perintah pertama Allah kepada seorang Nabi ini terjadi ditengah malam di dalam Gua hira.
Dengan demikian memperjelas bawah perintah iqra’ tidak hanya terbatas pada bacaan tekstual namun juga harus membaca realitas atau fenomena. Dialektika membaca teks dan realitas akan melahirkan sebuah peradaban.
Teks memiliki peranan sangat penting, teks disini yang dimaksud adalah al-Qur’an dan hadist sebagai sumber utama umat Islam sebagai pedoman hidup baik aspek ritual keagamaan atau sosial kemasyarakatan.
Selain itu realitas memiliki peranan yang tidak kalah penting. Membaca teks yang bagus ketika diintegrasikan denga realitas. Sehingga teks akan lebih hidup, tidak menjadi teks mati. Begitula pesan Ali bin Abi Thalib sebagaimana di nukil Nasr Hamid Abu Yazid dalam Naqd al-Khitab al-Dini.
Persinggungan teks dan realitas menunjukkan bahwa teks tidaklah lahir dari ruang yang kosong. Sejak awal keberadaan teks selalu bersinggungan dengan realitas kehidupan masyarakat kala itu. Hal itu semakin menunjukkan keberadaan teks tidak bisa dipisahkan dari realitas.
Dalam konteks nuzulul qur’an, perintah iqra’ sejatinya menjadi bagian kewajiban dan spirit muslim Indonesia, terus membaca al-Qur’an dan Hadits serta terus menyelamani maknanya. Sisi lain sebagai muslim Indonesia terus membaca realitas, dari realitas yang dibaca itulah dikoneksikan dengan bacaan al-qur’an.
Sehingga akan tercipta keindahan, kekaguman, dan kecintaan pada al-Quran dan al-Qur’an akan turun ke hati manusia.