Frensia.id-Di tengah segala efisiensi dan kemajuan teknologi, tradisi mudik tetap menjadi momen yang dinanti-nanti. Setiap tahunnya, kita menyaksikan jutaan orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Tak peduli seberapa jauh jarak atau padatnya perjalanan, semangat untuk kembali ke tanah kelahiran tetap membara. Ada tiga kategori pemudik yang bisa ditemui di tengah masyarakat.
Pertama, urban elit. Golongan ini tak hanya kaya secara ekonomi, tetapi juga populer. Kedatangan mereka ke kampung halaman menjadi sorotan, bukan hanya bagi keluarga tetapi juga tetangga yang ingin sekadar menyapa atau bahkan ikut ‘ngalap berkah’. Mereka biasanya datang dengan kendaraan mewah, membawa oleh-oleh dalam jumlah besar, dan kerap menjadi pusat perhatian.
Kedua, urban menengah. Mereka ada di posisi tengah—punya salah satu bentuk kekayaan, entah finansial atau sekadar popularitas dalam lingkup keluarga. Tetangga mungkin tak terlalu mengenal mereka, tetapi kehadiran mereka tetap dinantikan dalam lingkup keluarga besar. Mereka datang dengan persiapan yang cukup, meskipun tidak seberlebihan golongan pertama.
Ketiga, urban mendang-mending. Golongan ini justru yang paling menarik. Demi mudik, mereka rela berhutang, menjual barang, atau bahkan menggadaikan sesuatu. Mengapa? Karena dalam tradisi mudik, bukan hanya maaf yang harus dibawa pulang, tetapi juga amplop untuk sanak saudara. Ada tekanan sosial yang membuat mereka merasa wajib berbagi meskipun kondisi finansial tidak mendukung. Namun, di balik itu, ada kebahagiaan tersendiri saat melihat senyum keluarga yang menerima pemberian mereka.
Mudik bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi juga perjalanan spiritual. Ada dorongan kuat berupa cinta, harapan, dan keyakinan akan keberkahan silaturahmi. Nuansa spiritual ini sangat terasa ketika gema takbir berkumandang, menyentuh hati setiap perantau yang telah berjuang setahun penuh. Linangan air mata, rasa syukur, dan haru bercampur menjadi satu—terutama bagi mereka yang bertanya-tanya, “Apakah tahun depan aku masih bisa pulang?”
Saat tiba di kampung halaman, pelukan erat dari orang tua, saudara, dan sahabat lama menjadi obat rindu yang tak ternilai harganya. Percakapan yang mengalir, kenangan yang diceritakan kembali, serta kebersamaan di rumah sederhana menjadi kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang. Inilah alasan utama mengapa mudik tetap menjadi tradisi yang tak tergantikan.
Namun, mudik juga memiliki sisi ekonomi yang menarik. Orang-orang tak hanya membawa senyum, tetapi juga rezeki untuk dibagikan. Di beberapa daerah, tradisi bagi-bagi amplop sudah menjadi hal lumrah. Sementara di daerah lain, silaturahmi tak hanya diisi dengan saling memberi, tetapi juga dengan makan bersama di setiap rumah yang disinggahi. Bahkan, di beberapa tempat, tamu yang datang wajib mencicipi hidangan, meskipun hanya sedikit. Inilah kekayaan sejati dari tradisi mudik.
Lebaran seolah menjadi hari di mana semua orang ‘menjadi kaya’. Tak ada yang benar-benar miskin selama hari raya. Semua orang menikmati hidangan lezat—opor, sate, gulai—yang mungkin jarang mereka cicipi di hari biasa. Baju baru atau setidaknya pakaian terbaik dikenakan, membuat hampir semua orang terlihat memesona. Kaya dan miskin melebur dalam kebersamaan, sulit dibedakan mana yang lebih beruntung.
Selain itu, mudik juga membawa dampak ekonomi yang besar bagi daerah asal. Warung-warung kecil mendadak ramai, pedagang musiman bermunculan, dan sektor transportasi mengalami lonjakan pendapatan. Bagi masyarakat desa, kedatangan para pemudik seperti musim panen, di mana roda ekonomi berputar lebih cepat dibanding hari biasa.
Inilah keindahan mudik. Bukan hanya tentang pulang ke rumah, tetapi pulang ke akar nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan. Sebuah tradisi yang bukan hanya merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa, tetapi juga kemenangan dalam berbagi dan merajut kembali hubungan yang mungkin renggang selama setahun penuh. Mudik bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan hati. Setiap orang membawa harapan, kenangan, dan cinta yang akan terus tumbuh hingga tahun berikutnya.
Penulis : *Warga NU Asal Probolinggo
Editor : Mashur Imam