Frensia.id – Fiqh sejatinya hadir tidak hanya sebagai ilmu yang menerangkan hukum syar’I khususnya dalam ibadah, mulai thaharah, shalat, zakat, puasa, manasik haji, qurban dan lainnya. Kesemuanya itu menuntun manusia untuk beribadah sebagai wujud ketakwaan pada Tuhan-Nya.
Namun, fiqh juga mencakup aspek sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan umat. Fiqh berorientasi untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Oleh sebab itu, kehadirannya berfungsi sebagai antitesa terhadap segala perilaku culas, curang dan segala bentuk ketidakadilan seperti perilaku koruptif.
Fiqh sebagai antitesa terhadap perilaku korupsi menjadi isu kajian yang keberadaanya sangat penting. Sehingga Fiqh anti korupsi, sebagai disiplin yang secara khusus mengkaji berkaitan dengan Pencegahan, Penanganan dan pemberantasan korupsi dalam masyarakat, merupakan kebutuhan yang perlu dipenuhi. Terlebih di Indonesia, negara dengan tingkat korupsi yang berada di klasemen deretan atas.
Prof. Nur Solikin adalah sosok yang memiliki konsentrasi dalam mengkaji persoalan tersebut. Guru besar sosiologi hukum Islam di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) KHAS Jember tersebut, mengkaji arah dan prinsip Hukum Islam dalam menolak korupsi. Hal itu terlihat dari berbagai riset dan karyanya, baik berupa opini diberbagai media, jurnal dan berbentuk buku.
Secara khusus ia menulis buku fiqh anti korupsi, bahkan Disertasi S3-nya di UIN Sunan Ampel Surabaya, mengangkat Integrasi Hukum Islam dalam Pendidikan anti korupsi di Indonesia. Dalam riset doktoralnya tersebut, ia menyebutkan korupsi dalam kajian hukum Islam (Islamic law) dipahami sebagai perbuatan fasad dan pelakunya layak disebut pelaku dosa besar.
Ia menyebutkan korupsi secara prinsip bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, di antaranya prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.
Menurutnya dalam hukum Islam, korupsi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk tindakan, seperti: al-Ghulu (Penggelapan), al-Rishwah (Suap), al-Ghasb (mengambil hak orang lain secara paksa), al-Sariqah (pencurian), al-Hirabah (perampokan), al-Maks (pungutan liar) dan al- Ikhtilas (pencopetan).
Dalam kegelisahan intelektualnya, bagi Prof. Nur Solikin upaya mengcounter perilaku korupsi seperti pendidikan anti korupsi masih berfokus sebagai media transfer pengalihan pengetahuan (kognitif) saja. Belum ada upaya yang menekankan pada pembentukan karakter (afektif), dan kesadaran moral dalam melakukan perlawanan (psikomotorik), terhadap penyimpangan perilaku koruptif.
Untuk itulah harus ada gugusan ide baru untuk menciptakan terobosan melawan penyimpangan perilaku koruptif. Dalam Pendidikan anti korupsi misalnya, mengintegrasikan hukum Islam adalah Sebuah keniscayaan.
Pengintegrasian hukum Islam dalam pendidikan anti korupsi adalah upaya untuk mendekatkan dan mendialogkan antara keilmuan agama dan keilmuan umum yakni sebagai langkah progresif untuk mengembangkan teori tertentu. Hal ini dapat mendukung perumusan pendidikan anti korupsi berdasarkan hukum Islam untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini.
Bahkan integrasi Hukum Islam bisa menghasilkan gagasan untuk mengembangkan ilmu-ilmu baru yang termasuk dalam rumpun studi Islam, misalnya, fiqh APBN, fiqh anti suap, fiqh kebangsaan hingga fiqh anti korupsi.
Kehadiran fiqh sebagai antitesa ketidakadilan seperti korupsi yang tergolong extraordinary crime ini, sebagai upaya pemberantasan praktek korupsi di Indonesia melalui pengembangan wacana kegamaan anti korupsi. Sebab perspektif integrasi hukum Islam semacam ini, belum banyak ditempuh.
Fiqh anti korupsi sebagai hasil integrasi hukum Islam dalam pendidikan anti korupsi, hadir sebagai tuntutan perilaku dan pedoman mengenai pemberantasan korupsi untuk membentuk kesadaran menentang korupsi, baik secara individual dan komunal. Bagi Prof Nur, kehadiran fiqh anti korupsi ini dalam rangka menegakkan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.
Nalar fiqh anti korupsi Prof Nur Solikin sebagaimana uraian diatas, berakar pada prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan keadilan, transparansi, dan tanggung jawab.
Pertama, Keadilan. Fiqh menekankan pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan. Korupsi bertentangan dengan prinsip ini, karena merugikan hak-hak individu dan masyarakat. Menegakkan keadilan berarti menolak segala bentuk perilaku koruptif.
Kedua, Transparansi. Islam menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Seseorang, utamanya pemangku jabatan yang transparan dan akuntabel, mereka cenderung menghindari tindakan korupsi. Sekalipun tidak ada cctv yang memantau dan merekam kinerjanya.
Ketiga, tanggungjawab. Dalam Islam, memegang amanah adalah tanggung jawab yang besar. Korupsi merupakan bentuk penyelewengan dan melacurkan amanah yang diberikan, baik dalam hal harta, kekuasaan, maupun tanggung jawab lainnya.
Pada akhirnya, fiqh yang dianggap sebagai bentuk paling nyata dan menyeluruh dalam perwajahan agama, akan memberikan kemaslahatan bagi ummat. Fiqh mendorong tindakan yang mendatangkan kebaikan dan kebermanfaatan dalam rangka pemberantasan perilaku korupsi. *
*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)